Notification

×

Iklan

Kekerasan Seksual di UGM, Pelaku Dosen Senior Fakultas Farmasi

Senin, 05 Mei 2025 | 09:35 WIB Last Updated 2025-05-05T02:35:00Z

Ilustrasi


Jakarta, Rakyatterkini.com – Kasus kekerasan seksual kembali menjadi sorotan publik belakangan ini. Ironisnya, pelakunya justru berasal dari kalangan yang selama ini dikenal sebagai sosok terdidik dan berintegritas, bahkan dijadikan panutan di lingkungan akademik.

Peristiwa terbaru terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM), di mana seorang guru besar dari Fakultas Farmasi berinisial EM resmi diberhentikan setelah terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap 13 mahasiswi. Pelaku memanfaatkan kedudukannya untuk mengundang para korban dalam sesi bimbingan skripsi dan diskusi akademik di luar lingkungan kampus, termasuk di kediamannya serta pusat studi.

Merespons kejadian tersebut, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi Universitas Airlangga (Satgas PPKPT Unair), Prof. Dra. Myrtati Dyah Artaria, menyatakan bahwa fenomena ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan tinggi. "Kami yang lama berkecimpung dalam isu ini tidak terkejut. Banyak kasus menunjukkan bahwa pelaku justru berasal dari figur publik yang dihormati," ujar Myrtati, Jumat (2/05/25).

Ketimpangan Relasi Kuasa

Dalam penjelasannya yang dikutip dari situs resmi Unair pada Senin (5/5/2025), Prof. Myrtati mengungkapkan bahwa kekerasan seksual kerap terjadi karena adanya penyalahgunaan posisi dan kekuasaan. Menurutnya, sosok yang memiliki otoritas sering kali dipandang dengan kekaguman oleh orang-orang di sekitarnya, yang tanpa sadar menciptakan ketimpangan relasi.

“Hal ini memang terjadi secara alami dalam masyarakat kita. Yang menjadi pertanyaan, apakah individu tersebut mampu menjaga integritasnya, atau justru memanfaatkan situasi itu untuk melakukan pelanggaran,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti bahwa kasus kekerasan seksual umumnya berkaitan dengan faktor-faktor kompleks, seperti dominasi budaya patriarki, ketimpangan gender, lemahnya etika, serta kurangnya sistem pengawasan. Lebih jauh, ia menyampaikan bahwa pelaku sering kali menargetkan individu dengan trauma masa lalu karena dinilai lebih rentan dan mudah dikendalikan secara emosional.

“Dari berbagai kasus yang kami tangani, umumnya pelaku memilih korban yang memiliki pengalaman traumatis, karena secara emosional mereka lebih mudah dimanipulasi,” jelasnya.

Dampak Viralitas Kasus di Media Sosial

Prof. Myrtati juga mengkritisi maraknya penyebaran kasus kekerasan seksual melalui media sosial. Menurutnya, meskipun publikasi di media dapat mempercepat proses penindakan, namun eksposur yang berlebihan justru sering merugikan korban.

“Korban bisa mengalami tekanan mental yang makin berat, menerima intimidasi, bahkan serangan balik dari pendukung pelaku atau buzzer di dunia maya. Kita tidak pernah tahu seperti apa reaksi netizen,” tegasnya.

Ia menambahkan, ketakutan korban untuk melaporkan pelaku yang memiliki kedudukan sosial tinggi juga menjadi hambatan serius dalam penanganan kasus. Korban sering merasa takut dicap sebagai pemfitnah atau menjadi sasaran balasan.

Selain itu, stigma sosial dan rasa malu masih menjadi momok yang membayangi para penyintas. “Korban kerap merasa bersalah, dicap negatif, bahkan dianggap menggoda. Apalagi jika mereka memiliki ketergantungan ekonomi atau akademik terhadap pelaku,” tutupnya.(da*)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update