![]() |
Truk bantuan kemanusiaan menunggu untuk melintasi perbatasan Rafah antara Mesir dan Jalur Gaza, di Rafah, Mesir, Senin, 9 September 2024. |
Jakarta, Rakyatterkini.com – Mesir menegaskan penolakannya terhadap rencana pencaplokan Jalur Gaza oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Sikap ini dituangkan dalam "Visi Mesir untuk Gaza" yang akan dipresentasikan dalam KTT Liga Arab pada Selasa (4/3/2025).
Menurut laporan Reuters, inisiatif ini dirancang untuk menghalangi ambisi Trump menguasai Gaza dan menggantikannya dengan badan sementara yang dikelola oleh negara-negara Arab, Muslim, dan Barat.
Rencana Mesir mengusulkan pembentukan Misi Bantuan Pemerintahan yang akan mengambil alih administrasi Gaza dari Hamas untuk sementara waktu tanpa batasan durasi. Badan ini bertanggung jawab dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan dan merekonstruksi wilayah yang hancur akibat konflik antara Hamas dan Israel.
"Dukungan finansial internasional dalam jumlah besar untuk membangun kembali Gaza tidak akan tersedia jika Hamas masih memegang kendali politik dan bersenjata," demikian tertulis dalam rancangan dokumen tersebut.
Namun, proposal ini tidak menjelaskan siapa yang akan memimpin misi tersebut. Disebutkan bahwa rencana ini akan melibatkan para ahli Palestina di dalam dan luar Gaza untuk mempercepat pemulihan wilayah tersebut.
Mesir, Yordania, dan negara-negara Teluk Arab telah berdiskusi selama hampir satu bulan guna menyusun langkah diplomatik untuk menghadapi rencana Trump yang berupaya mengusir penduduk Palestina dari Gaza.
Rencana Trump yang mengusulkan pengosongan Gaza dari penduduk Palestina menuai kecaman dari berbagai pihak, karena bertentangan dengan kebijakan AS sebelumnya yang mengedepankan solusi dua negara. Meski demikian, Washington telah menetapkan satu syarat utama.
"Presiden Trump menegaskan bahwa Hamas tidak dapat terus memerintah Gaza," kata Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Brian Hughes, ketika ditanya mengenai rencana Mesir dan kemungkinan dukungan AS.
Sementara itu, pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, mengatakan bahwa pihaknya belum menerima informasi resmi terkait proposal Mesir. Namun, ia menegaskan bahwa hanya rakyat Palestina yang berhak menentukan masa depan Gaza.
"Hamas menolak segala bentuk pemerintahan non-Palestina atau kehadiran pasukan asing di Jalur Gaza," ujarnya.
Hamas telah menguasai Gaza sejak 2007 dan melancarkan serangan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang. Israel kemudian membalas dengan serangan besar-besaran yang telah menyebabkan lebih dari 48.400 warga Gaza tewas, termasuk anak-anak dan lansia, serta menghancurkan sekitar 70% infrastruktur wilayah tersebut.
Usulan Pasukan Internasional dan Biaya Rekonstruksi
Proposal Mesir tidak merinci langkah apa yang akan diambil jika Hamas menolak melucuti senjatanya atau mundur dari ranah politik. Namun, rencana tersebut mengusulkan pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional, yang mayoritas terdiri dari negara-negara Arab, untuk menjaga keamanan di Gaza.
Baik badan keamanan maupun pemerintahan di Gaza nantinya akan berada di bawah pengawasan dewan pengarah yang terdiri dari negara-negara Arab utama, anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), AS, Inggris, Uni Eropa, serta negara-negara lain yang memiliki kepentingan dalam konflik ini.
Rencana tersebut juga menyebutkan pembentukan komite ahli Palestina yang akan bekerja sama dengan Otoritas Palestina dalam mengelola Gaza selama enam bulan. Komite ini akan beroperasi secara independen dan tidak bertanggung jawab kepada pihak non-Palestina.
Namun, masih belum jelas siapa yang akan membiayai rekonstruksi Gaza. PBB memperkirakan bahwa biaya pembangunan kembali wilayah tersebut akan mencapai lebih dari USD 53 miliar (sekitar Rp 871 triliun).
Dua sumber Reuters menyebutkan bahwa negara-negara Arab Teluk mungkin perlu menyumbang setidaknya USD 20 miliar (Rp 328 triliun) dalam tahap awal. Salah satu opsi yang diajukan adalah pembentukan dana internasional untuk mendukung badan pemerintahan sementara dan penyelenggaraan konferensi donor guna menggalang dana tambahan.
Meski Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) berpotensi menjadi penyokong utama, UEA misalnya, memandang Hamas sebagai ancaman dan kemungkinan besar tidak akan memberikan bantuan finansial hingga Hamas disingkirkan dari Gaza.
Sejauh ini, Kementerian Luar Negeri Qatar, UEA, dan Arab Saudi belum memberikan tanggapan resmi terkait proposal Mesir atau kesiapan mereka dalam mendukung rekonstruksi Gaza.(da*)