![]() |
ilustrasi |
Jakarta – Perusahaan-perusahaan di Jepang tengah bersaing untuk meningkatkan gaji karyawan pada 2025. Langkah ini mencerminkan tren baru di dunia bisnis, yang dipicu oleh inflasi, kelangkaan tenaga kerja, serta tekanan dari serikat pekerja.
Berdasarkan survei terbaru Teikoku Databank, sebanyak 61,9% perusahaan berencana menaikkan upah tahun ini, menjadikannya angka tertinggi sejak survei ini pertama kali dilakukan.
Peningkatan ini juga terlihat dari jumlah perusahaan yang siap menaikkan gaji pokok, mencapai 56%, tertinggi sejak 2007. Dilansir dari The Mainichi, perusahaan besar seperti Suntory Holdings Ltd. bahkan mengumumkan kenaikan gaji hingga 7% untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja terbaik di tengah ketatnya persaingan di pasar tenaga kerja.
Serikat Pekerja Dorong Kenaikan Upah
Serikat pekerja terbesar di Jepang, Rengo, menargetkan kenaikan gaji minimal 5% tahun ini, terutama untuk membantu usaha kecil dan menengah (UKM) yang sebelumnya tertinggal. Pada 2024, perusahaan besar mencatat kenaikan upah rata-rata 5,58%—tertinggi dalam 33 tahun—sementara UKM hanya mencatat kenaikan sekitar 4%.
Secara keseluruhan, rata-rata kenaikan upah pekerja mencapai 5,1%, atau sekitar JPY 15.281 per bulan (setara dengan Rp 1,67 juta).
Saat ini, upah minimum di Jepang berkisar JPY 1.054 per jam (Rp 115.940), dengan variasi di tiap wilayah. Misalnya, upah minimum di Tokyo mencapai JPY 1.163, sementara di Osaka berada di JPY 1.114 per jam. Jika dihitung berdasarkan jam kerja standar—delapan jam per hari dan 20 hari kerja per bulan—upah minimum pekerja Jepang berada di kisaran Rp 18,55 juta.
Perusahaan Besar Punya Tanggung Jawab
Ketua Federasi Bisnis Jepang (Keidanren), Masakazu Tokura, menekankan bahwa perusahaan besar memiliki tanggung jawab untuk memastikan UKM dalam rantai pasokan mereka juga dapat meningkatkan gaji pekerja.
Namun, menurut survei Small and Medium Enterprise Agency, kurang dari 50% UKM dapat meneruskan kenaikan biaya tenaga kerja ke harga jual mereka. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi sektor UKM dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan mereka.
Di sisi lain, perusahaan besar terus memimpin dalam perlombaan kenaikan upah. Serikat pekerja di perusahaan elektronik raksasa Jepang, termasuk Hitachi, menuntut kenaikan gaji bulanan sebesar JPY 17.000—angka tertinggi dalam negosiasi tenaga kerja tahunan, Shuntō.
Kenaikan Gaji Jadi Perdebatan Hangat
Kenaikan gaji pekerja di Jepang telah menjadi topik hangat, terutama pasca-pandemi. Dibandingkan dengan negara maju lainnya, peningkatan upah di Jepang masih relatif rendah. Biaya hidup warga Jepang juga meningkat akibat dampak perang Rusia-Ukraina.
Selain bertujuan menjaga daya beli masyarakat, perusahaan-perusahaan Jepang kini mulai khawatir kehilangan tenaga kerja potensial yang mencari gaji lebih tinggi di luar negeri.
"Pemain bisnis global kini menyadari bahwa gaji di Jepang relatif rendah. Mereka mulai khawatir tenaga kerja muda berkualitas akan direkrut oleh perusahaan asing," kata Hisashi Yamada, Wakil Ketua Japan Research Institute, dikutip dari Japan Times.
Tahun lalu, Toyota memberikan kenaikan gaji terbesar sejak 1999, dengan tambahan JPY 28.440 (sekitar Rp 3,1 juta) per bulan. Nissan juga menuntut kenaikan gaji bulanan JPY 18.000, meskipun mereka menurunkan tuntutan bonus tahunan menjadi 5,2 bulan gaji. Honda, di sisi lain, meminta kenaikan gaji bulanan sebesar JPY 19.500.
Pada 2023, Toyota bahkan menggandakan gaji pokok dan bonus tahunan yang setara dengan 6,7 bulan gaji. Honda pun mengikuti langkah serupa dengan menaikkan gaji hingga 5%—kenaikan terbesar dalam 30 tahun terakhir.
Tradisi Shuntō dan Peran BOJ
Dalam budaya bisnis Jepang, kenaikan upah erat kaitannya dengan tradisi Shuntō (negosiasi gaji tahunan). Dimulai sejak 1955, Shuntō bertujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui negosiasi lintas industri.
Pada era 1960-an, saat ekonomi Jepang tumbuh pesat, Shuntō berperan besar dalam mendorong peningkatan upah. Namun, setelah krisis minyak 1973 dan resesi panjang di era 1990-an, negosiasi gaji menjadi lebih moderat.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Jepang kembali mendorong kenaikan upah untuk mengatasi stagnasi ekonomi. Jika tren ini terus berlanjut, Bank of Japan (BOJ) diperkirakan akan menaikkan suku bunga pada pertengahan 2025. Anggota dewan BOJ, Hajime Takata, menyatakan bahwa kebijakan moneter dapat berubah lebih cepat jika kondisi ekonomi terus membaik.
Namun, tantangan masih ada. UKM yang mempekerjakan 70% tenaga kerja Jepang belum mengalami kenaikan upah yang merata. Jika kondisi ini berlanjut, konsumsi rumah tangga bisa tetap stagnan dan memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Dampak Bagi Pekerja Indonesia
Kenaikan upah di Jepang juga menarik perhatian pekerja migran asal Indonesia. Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah pekerja Indonesia di Jepang mencapai 38.000 orang pada kuartal II-2024, naik 153% dalam tiga tahun terakhir.
Dengan peningkatan gaji yang terus terjadi, Jepang semakin menjadi destinasi menarik bagi tenaga kerja asing. Fenomena "Kabur Aja Dulu", yang viral di media sosial, mencerminkan minat generasi muda Indonesia untuk mencari peluang kerja di luar negeri, termasuk Jepang.
South China Morning Post bahkan melaporkan bahwa banyak anak muda Indonesia yang mengungkapkan keinginan untuk merantau melalui tagar #KaburAjaDulu di media sosial seperti X dan TikTok.
Jika tren kenaikan gaji ini terus berlanjut dan mencakup lebih banyak sektor, Jepang bisa keluar dari stagnasi ekonomi dan memasuki fase pertumbuhan yang lebih berkelanjutan. Di sisi lain, negara seperti Indonesia mungkin perlu mencari strategi baru untuk mempertahankan tenaga kerja berkualitas agar tidak semakin banyak yang mencari pekerjaan di luar negeri.(Da*)