Oleh: Syafrial Suger
RAKYATTERKINI.COM - Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana seluruh rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan mereka.
Kata demokrasi berasal dari kata demos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya kekuasaan. Secara harfiah, demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat.
Demokrasi memungkinkan adanya keberagaman pandangan politik dan ideologi.
Rakyat memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat, berdebat, dan berpartisipasi dalam proses politik.
Partai politik dan kelompok kepentingan berperan dalam kontes politik.
Demokrasi juga bertujuan untuk: Memberikan kebebasan bagi individu sebagai warga negara untuk dapat aktif berpartisipasi di dalam politik dan sebagai warga.
Memberikan perlindungan kepada hak asasi pada warga negara
Menghasilkan sebuah aturan yang berlaku kepada semua warga negara tanpa ada pandang bulu
Pemilihan Umum (Pemilu) di negara kita ini dimulai pada tahun 1955, 1971, 1977-1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019 dan 2024.
Kita sudah memasuki angka usia kemerdekaan yang cukup tua yaitu 79 tahun.
Dewasa ini jumlah pengangguran dan masyarakat miskin tak terbendung.
79 tahun para pemimpin bangsa ini gagal dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demokrasi yang seharusnya menjadi jalan yang luas kepada semua orang untuk menikmati kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia, namun realita berkata malah kebalikannya.
Demokrasi hanya melahirkan pencitraan, mempertontonkan kerakusan, tamak, dan pengumpulan kekuatan dari rakyat yang di manfaatkan oleh para oligarki, untuk mempertahankan status quo dalam berkuasa di tanah Pertiwi yang subur makmur.
Tanah surga yang tak berbanding lurus dengan kisah manusia yang hidup di tempat ini. Rakyat Miskin, Pengangguran, Kelaparan Bencana yang disebabkan oleh kerusakan alam yang di lakukan oleh tangan-tangan pemilik modal dan kekuasaan, mereka dengan bangga nya menyebutkan investasi, lapangan kerja baru, kecepatan pembangunan hingga lupa masyarakat hanya merasakan pilu yang panjang di banding gembiranya. Bahkan, masyarakat menjadi tamu di rumah sendiri.
Era Pesta Demokrasi Lima tahun sekali yaitu pemilihan umum, Pileg, Pilpres, Pilkada untuk melanjutkan estafet kepemimpinan negara yang subur dan kaya raya ini. Saling olok-olok dan sentimentil dari para aktornya atupun simpatisannya.
Dalam melihat para politisi yang akan menjadi pemimpin baru di bangsa ini, sudah mulai bergerak dari terkesan Humanis dan pro terhadap rakyat untuk meyakinkan dan merauk dukungan terbanyak agar dirinya bisa memenangkan pertandingan lima tahun sekali di gelanggang Demokrasi.
Hal ini menjadi biasa dan absurd di mata masyarakat, karena informasi yang begitu mudah di dapat dan tentunya sangat cepat hingga menjadi kabur pandangannya dalam melihat pemimpin yang bisa membawa Negara ini kepada cita-cita bersama yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Partai politik yang memiliki jumlah suara yang pasti menjadi barometer kemenangan, siapa saja yang mendapatkan dukungan dari partai besar dan banyak partai yang tergabung di dalamnya tentunya itu akan menjadi pemenangnya.
Pemilih abu-abu seperti masyarakat yang non partai, hanya menjadi pelangkap kebutuhan publik dan kepercayaan dari koalisi partai politik saja, pengambilan kekuasaan dalam Demokrasi penuh dengan Rekayasa.
Perubahan yang terjadi di Indonesia khususnya dalam satu dekade terakhir telah melahirkan ruang lingkup negara, identitas kebangsaan, sistem politik, dinamika ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi hingga pergeseran perilaku budaya yang jauh lebih kompleks.
Pasca periode reformasi 1998 perubahan-perubahan dalam berbagai berbagai dimensi kemasyarakatan dan kenegaraan telah melahirkan situasi kompleks yang tidak bisa dirangkum dalam satu lafal generalisasi.
Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga saat ini, terdapat tujuh orang yang telah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Suksesi kepemimpinan itu, telah menciptakan satu tatanan politik yang kompleks khas Indonesia sebagai buah dari perebutan dan pertarungan politik.
Sistem presidensial yang ambigu karena kekhawatiran guncangan di parlemen. Sistem hukum dan perundang-undangan yang tumpang tindih karena tidak jelasnya prioritas perubahan. Sistem pendidikan yang tidak menyentuh esensi perubahan.
Dinamika informasi dan komunikasi yang hadir dalam hitungan detik. Pasar global yang jauh lebih menentukan daripada lokal.
Sistem perekonomian nasional yang akrab dengan krisis. Hingga cita-cita keadilan sosial yang makin hari makin jauh dari harapan.
Rumit dan melelahkan, terbayang bagaimana mengurai semua permasalahan di atas. Adakah jalan pintas bagi kerumitan ini?
Jawabannya adalah memang tidak ada. Periode carut marut, krisis kebangsaan, krisis lembaga negara, krisi demokrasi, krisis politik, krisis kepemimpinan politik, krisis kepercayaan, ditambah krisis ekonomi yang telah dan sedang berlangsung harus dijalani.
Menilik carut marutnya masalah yang mengepung bangsa dan negara Indonesia pada hari ini, sulit dipercaya dapat diatasi oleh politikus serta ekonom, karena justru masalah politik dan masalah ekonomi bangsa yang menjadi habitat pertarungan bebas, hingga sukar untuk diredakan, karena semua sudah menjadi pemain utama yang tidak lagi jelas skenarionya.
Semua begitu berani dan membabi buta untuk merekayasa demokrasi bangsa, dan begitu berani menjadi pemeran utama agar bisa lebih dominan menentukan dramatikanya untuk menguasai semua bidang dan peran seluas mungkin.
Karena itu ambruklah panggung budaya kita akibat pertarungan politik dan perkelahian ekonomi yang semakin meluas, hingga habitat budaya pun jadi benar-benar luluh lantak seperti baru dihajar oleh badai puting beliung yang maha dakhsyat.
Tatanan etika, moral dan akhlak yang seharusnya dapat dijaga dan dipelihara secara bersama, telah hancur lebur berantakan, tak lagi jelas wujudnya.
Kropos dan lapuk, seperti tubuh renta yang tak berdaya apa-apa akibat ulah birahi politisi dan ekonom yang memperkosa sekedar untuk mengumbar syahwatnya.
Kondisi yang gawat darurat ini hanya mungkin diselamatkan oleh pemimpin spuritual yang sudah selaras duniawinnya. Sabar dan tekun dengan segenap imunitas terhadap hal-hal yang bersifat materi, birahi, syahwat, materi, kekuasaan dan rasa tamak serta kerakusan seperti makhluk kanibal yang memangsa apapun dan siapa pun yang dia rasa enak dan perlu dilahap untuk memuaskan nafsu angkara kebuasannya.
Budaya seperti ini sungguh sedang terjadi di negeri kita, Indonesia. Prilaku dan sikap perlakuan yang dilakukan begitu vulgar oleh elite bangsa dalam mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Hari ini masyarakat tanah air melihat drama “Politik Pilkada 2024” di lakukan elit-elit bangsa yang “haus” akan kekuasaan menjelang Pilkada 2024.
Adegan drama ini dimulai dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024. Keputusan ini memberikan harapan baru dalam pencalonan kepala daerah, yang sebelumnya menuai polemik karena “borong tiket” oleh partai yang berkoalisi.
Dengan perubahan ini, lebih banyak partai politik dapat mengusung calon gubernur dengan modal suara yang lebih rendah, membuka peluang bagi tokoh-tokoh baru dalam kontestasi Pilkada 2024.
Dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pilkada, yaitu Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII, menjaga kedaulatan rakyat dalam proses demokrasi di tanah air.
Putusan MK Nomor 60 membuka jalan untuk pencalonan kandidat-kandidat alternatif selain mereka yang dicalonkan koalisi partai politik besar yang saat ini terbentuk selama tahapan Pilkada 2024.
Ambang batas (threshold) partai atau gabungan partai untuk mengusung bakal calon kepala daerah paling sedikit 7,5 persen, dan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD juga dapat mengusung bakal calon kepala daerah.
“Kemarin ada kekhawatiran dalam Pilkada 2024, kontestasinya akan hanya muncul calon-calon yang didukung koalisi besar versus kotak kosong. Nah, dengan adanya putusan MK ini diharapkan kontestasi akan semakin dinamis,”
Namun, sehari usai putusan, DPR dan pemerintah langsung menggelar rapat untuk membahas revisi UU Pilkada. Revisi Undang-Undang Pilkada dilakukan untuk mengakomodasi putusan MK yang membolehkan partai nonparlemen mengusung calon kepala daerah. selain itu, revisi demi memastikan putusan MK itu termuat dalam undang-undang.
Suka atau tidak suka,semua peristiwa yang terjadi menjelang Pilkada 2024 ini se-akan akan by design. Dugaan ada elite-elite bangsa yang sengaja memainkan peranannya dalam politik hari ini dengan ambisi kekuasaan.
Masyarakat dan mahasiswa wajar-wajar saja melakukan demo ke DPR RI guna mengawal keputusan MK. Karena kondisi politik hari inipun mulai liar. Publik tanah air melihat drama poltik hari ini dilakukan oleh kepentingan-kepentingan elite bangsa.
Tidak ada teman abadi tetapi kepentingan abadi. Ternyata benar kepentingan selalu diutamakan, sehingga etika tata krama, balas budi menjadi tidak ada harganya ketika kepentingan menggerogoti nafsu nuraninya. (*)