Jakarta, Rakyatterkini.com – Seorang gadis asal Desa Iraonolase, Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa, Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara, melaporkan dugaan perusakan kebun karet dan pisang miliknya ke Polres Nias setelah upaya mediasi di tingkat desa tidak membuahkan hasil.
Korban yang diketahui bernama Pastian Lase melaporkan kejadian tersebut ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Nias. Ia menuding seorang warga bernama Fariawosa Lase sebagai pelaku perusakan tanaman di atas lahan bersertifikat miliknya.
Peristiwa perusakan itu diduga terjadi pada Selasa, 24 Juni 2024 di Dusun 3 Desa Iraonolase. Kejadian tersebut diketahui Pastian keesokan harinya, Rabu (25/6/2024), melalui sebuah video siaran langsung yang diunggah di akun Facebook milik warga bernama Sari Lase.
"Video tersebut menampilkan aksi perusakan kebun yang terjadi sehari sebelumnya. Setelah menontonnya, saya langsung mendatangi kantor desa untuk menyampaikan keluhan," ungkap Pastian.
Namun, respons dari aparatur desa dinilai mengecewakan. Salah satu oknum pemerintah desa menyatakan tidak dapat memberikan solusi, bahkan menolak menindaklanjuti keluhan korban. Meski sempat diusulkan mediasi oleh Bhabinkamtibmas untuk melihat lokasi dan menyelesaikan masalah secara kekeluargaan pada 1 Juli 2025, pertemuan tersebut urung dilakukan.
Karena merasa tidak mendapatkan keadilan di tingkat desa, korban akhirnya melaporkan kasus ini ke Polres Nias. Laporan resmi tersebut terdaftar dengan nomor STPLP/B/430/VII/2025/SPKT/POLRES NIAS/POLDA SUMATERA UTARA.
“Saya sangat menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh terlapor. Padahal lahan itu bersertifikat atas nama saya. Saya juga kecewa terhadap pemerintah desa yang gagal memfasilitasi penyelesaian secara musyawarah,” ujar Pastian kepada wartawan.
Kerugian Material dan Psikologis
Pastian juga mengungkapkan bahwa Fariawosa Lase sebelumnya pernah menghambat proses sertifikasi tanah warisan dari kakek buyutnya. Ia menilai bahwa perusakan kali ini tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga menimbulkan trauma dan rasa takut.
“Tindakan ini menyebabkan kami mengalami kerugian materi, tekanan mental, dan ketakutan untuk menyadap karet di kebun kami sendiri. Padahal itu adalah satu-satunya sumber penghidupan keluarga kami,” tuturnya.
Ia berharap aparat penegak hukum dapat memberikan kepastian hukum atas kasus ini, mengingat dampaknya sangat signifikan terhadap kehidupan keluarganya.
Kasus ini pun menjadi sorotan publik, terutama terkait pentingnya perlindungan hak atas tanah bersertifikat serta efektivitas penyelesaian konflik agraria di tingkat desa sebelum berujung ke ranah hukum formal.(da*)