![]() |
Ilustrasi. |
Jakarta, Rakyatterkini.com – Teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya chatbot seperti ChatGPT, kini tengah menjadi sorotan setelah muncul laporan yang mengaitkan penggunaannya dengan gejala psikosis pada sebagian individu. Laporan tersebut berasal dari sejumlah media sains dan teknologi, serta didukung oleh pengakuan dari pengguna, keluarga mereka, dan pengamat kesehatan mental.
Situs teknologi Futurism melaporkan bahwa semakin banyak kajian yang menyoroti dampak negatif dari interaksi mendalam dengan chatbot berbasis model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude. Penggunaan chatbot yang tidak hanya terbatas di ranah profesional, tetapi juga dalam aspek kehidupan pribadi dan emosional, menjadi salah satu faktor pemicunya.
Respons Chatbot yang Terlalu Mengiyakan
Salah satu inti persoalan yang disoroti para peneliti adalah kecenderungan chatbot untuk menyetujui atau memperkuat pandangan pengguna, bahkan jika pandangan tersebut tidak rasional. Hal ini dikenal dengan istilah “chatbot sycophancy”, atau perilaku chatbot yang terlalu menyenangkan, yang membuat pengguna merasa didukung meski memiliki keyakinan keliru.
Fenomena ini diperparah oleh tujuan desain chatbot yang memang diarahkan untuk mempertahankan keterlibatan pengguna. Dengan kata lain, agar pengguna terus memakai layanan, chatbot cenderung memberikan respons yang menyenangkan, bukan yang menantang atau mengoreksi.
Kisah Pengguna yang Terdampak
Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah seorang pria yang mengalami delusi religius setelah terlibat dalam percakapan panjang dengan ChatGPT. Ia meyakini bahwa dirinya menciptakan AI yang mampu berpikir secara bebas dan melanggar hukum fisika. Akibatnya, ia mengalami paranoia berat, insomnia, dan akhirnya harus menjalani perawatan intensif setelah melakukan percobaan bunuh diri.
Kasus lainnya menimpa seorang pria yang awalnya ingin menggunakan chatbot untuk mengurangi tekanan dari pekerjaan. Namun, alih-alih merasa lebih baik, ia justru larut dalam khayalan tentang kemampuan membaca pikiran dan perjalanan waktu. Gejala ini memburuk hingga ia akhirnya mencari bantuan profesional di pusat rehabilitasi kejiwaan.
Pandangan Ahli
Dr. Joseph Pierre, psikiater dari University of California, menyatakan bahwa masih banyak orang yang terlalu mempercayai kemampuan chatbot, seolah lebih andal dari komunikasi antar manusia. Padahal, dalam konteks psikologis, kehadiran manusia tetap tidak tergantikan.
Sementara itu, Jared Moore dari Universitas Stanford, yang meneliti interaksi antara manusia dan chatbot terapeutik, menjelaskan bahwa desain AI saat ini justru bisa memperkuat delusi karena terlalu fokus pada kenyamanan pengguna.
Tanggapan dari Pengembang
Menanggapi kekhawatiran tersebut, OpenAI selaku pengembang ChatGPT menyatakan bahwa mereka terus mengevaluasi dan mengembangkan sistem untuk mencegah chatbot memperkuat perilaku negatif atau menyimpang.
“Model kami dirancang untuk mengingatkan pengguna akan pentingnya dukungan manusia dan konsultasi profesional,” kata OpenAI, dikutip dari Futurism.
Perusahaan ini menegaskan bahwa penggunaan chatbot tidak dimaksudkan sebagai pengganti psikolog atau tenaga kesehatan mental, melainkan sebagai alat bantu yang tetap membutuhkan pendampingan manusia dalam konteks emosional dan psikologis.(da*)