![]() |
Ilustrasi Ekspedisi Jasa Pengiriman. (Sumber: Freepik) |
Oleh: Rio Ferdinand
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
RAKYATTERKINI.COM - Pernahkah kita merasa begitu tergantung pada "gratis ongkir" saat belanja online? Tak jarang, kita menunda checkout hanya untuk menunggu tanggal merah bertanda diskon atau ongkir gratis dari e-commerce favorit.
Kini, kebijakan baru hadir bak tamparan realitas pemerintah, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Permen Komdigi) No. 8 Tahun 2025, membatasi layanan gratis ongkir oleh kurir menjadi maksimal tiga hari per bulan. Keputusan ini sontak memancing reaksi keras: dari pembeli yang kecewa, pelaku UMKM yang khawatir omzet menurun, hingga influencer yang menyuarakan keresahan.
Tapi, benarkah ini akhir dari kenyamanan digital? Atau justru awal dari transformasi gaya hidup yang lebih sadar dan bertanggung jawab? Dalam setiap perubahan, selalu ada ruang untuk tumbuh. Dan dari pembatasan ini, terselip pelajaran penting tentang motivasi, kemandirian, dan tanggung jawab sosial dalam era digital.
Kenikmatan yang Meninabobokan
Selama bertahun-tahun, kita dimanjakan oleh promosi e-commerce yang tampaknya “murah hati”—diskon, cashback, dan tentu saja, gratis ongkir. Tapi seperti kata pepatah, “Tidak ada makan siang gratis.” Biaya itu ada.
Entah dibayar oleh e-commerce besar yang membakar uang investor, oleh UMKM yang mengorbankan margin, atau oleh kurir yang bekerja melebihi batas upah layak.
Kini, ketika subsidi dikendalikan, kita tersadar, betapa nyamannya hidup dalam ilusi "kemudahan instan". Ini bukan semata soal tambahan ongkos kirim, tetapi tentang realita bahwa dalam hidup, kenyamanan yang terus-menerus tanpa pengorbanan justru bisa melumpuhkan semangat untuk berkembang.
Sama seperti seseorang yang selalu dibantu tanpa diajari cara berjalan, konsumen dan pelaku usaha pun bisa kehilangan daya adaptasi ketika terbiasa diberi tanpa usaha.
Kebijakan yang Memantik Kesadaran Baru
Menurut Permen Komdigi No. 8/2025 memang menimbulkan kegemparan. Namun, dari perspektif pembangunan berkelanjutan, ini adalah sinyal bahwa ekosistem logistik digital perlu direformasi. Seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos, “Kita tidak bisa selamanya menggantungkan efisiensi pada promosi. Ada titik di mana struktur biaya harus transparan dan adil.”
Dengan membatasi subsidi ongkir, pemerintah mendorong pelaku usaha dan konsumen untuk lebih bijak: memanfaatkan tiga hari gratis dengan optimal, merencanakan pembelanjaan, dan mencari solusi kreatif agar ongkos kirim tidak menjadi beban.
Konsumen Cerdas, Bukan Konsumen Manja
Tak hanya pelaku usaha, kita sebagai konsumen pun perlu berefleksi. Apakah selama ini kita berbelanja karena kebutuhan, atau karena tergiur promo? Apakah kita menghargai proses kerja kurir, produsen, dan logistik, atau hanya peduli dengan nominal di layar?
Bayangkan jika kita membayar Rp10.000 untuk ongkir. Apakah terlalu mahal untuk kontribusi pada ekosistem kerja yang sehat? Kurir yang mengantar pesanan ke rumah kita melewati kemacetan, hujan, dan panas, tak boleh terus-menerus terjebak dalam sistem yang tak adil karena ekspektasi “gratis” dari konsumen.
Kita bisa mulai menjadi pembeli yang lebih etis: berbelanja dari produsen lokal, memilih produk berkualitas agar tidak sering repeat order, dan merencanakan kebutuhan dengan bijak. Hidup cerdas bukan hidup hemat semata, tapi hidup dengan kesadaran.
Motivasi Hidup: Belajar dari Ketidaknyamanan
Hidup tak melulu tentang memanjakan diri. Kadang, motivasi justru muncul dari keadaan yang membuat kita tidak nyaman. Seperti atlet yang berlatih keras di bawah tekanan, atau mahasiswa yang lulus dengan nilai gemilang meski harus sambil bekerja.
Begitu juga dalam hal ini. Ketika “gratis” tak lagi tersedia, kita terdorong untuk berpikir ulang. Bahwa hidup bukan soal menerima sebanyak-banyaknya, tapi soal memberi makna pada setiap rupiah yang kita belanjakan, setiap langkah yang kita ambil.
Motivasi hidup sejati adalah ketika kita mampu mengubah ketidaknyamanan menjadi pijakan untuk naik kelas—dalam cara berpikir, bersikap, dan bertindak.
Dari Krisis ke Kesadaran Baru
Gratis ongkir mungkin tak lagi semudah dulu. Tapi dari keterbatasan itu, kita diajak belajar banyak hal. Bahwa dalam hidup, tak ada yang benar-benar gratis. Bahwa kenyamanan harus seimbang dengan tanggung jawab. Dan bahwa tantangan hari ini bisa menjadi pijakan kemajuan esok hari.
Kini, saatnya kita bertanya bukan hanya "Kapan gratis ongkir kembali?", tapi "Apa yang bisa saya lakukan untuk tetap cerdas, adil, dan bertanggung jawab dalam berbelanja?"
Karena hidup yang berarti bukan soal menunggu promo datang, melainkan soal bagaimana kita menumbuhkan nilai dalam setiap keputusan, sekecil apa pun itu. Dan dari satu klik belanja, bisa lahir kesadaran hidup yang lebih besar.
Pembatasan gratis ongkir bukan sekadar kebijakan logistik. Ia adalah cermin kehidupan: tentang kemandirian, adaptasi, dan tanggung jawab. Mari kita lihat ini bukan sebagai hambatan, tetapi sebagai kesempatan untuk tumbuh dan menjadi versi terbaik dari diri kita—sebagai konsumen, pelaku usaha, dan warga digital yang dewasa. (*)