Jakarta, Rakyatterkini.com – Saat ini, dunia internasional tidak hanya menghadapi krisis perdagangan global, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang memilukan: genosida yang berlangsung di Gaza. Meski keduanya terlihat terpisah, kenyataannya kedua fenomena ini saling terkait.
Di tengah fokus terhadap kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang diterapkan di bawah kepemimpinan Donald Trump, tragedi di Gaza perlahan-lahan terlupakan dalam pemberitaan internasional. Keheningan ini, menurut para ahli, bukan tanpa alasan.
Prof. Dr. Syafrudin Karimi , seorang pakar ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), menilai bahwa kebijakan tarif bukanlah alat yang netral.
“Tarif kini bukan hanya berfungsi untuk melindungi ekonomi domestik, tetapi juga untuk mengatur ulang narasi global, mengalihkan perhatian dari kejahatan kemanusiaan, dan melindungi kepentingan geopolitik tertentu,” jelas Prof. Karimi dalam wawancara eksklusif.
Ekonomi Sebagai Alat Kekuasaan
Pada awal April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan pemberlakuan tarif dasar sebesar 10% terhadap semua negara, ditambah tarif tambahan hingga 42% terhadap negara-negara yang dianggap “tidak adil” dalam perdagangan, termasuk Indonesia. Dampak langsung dari kebijakan ini dapat dilihat dari gejolak pasar, penurunan ekspor, serta terganggunya hubungan perdagangan multilateral.
Namun, dampak yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana kebijakan ini menciptakan “kekacauan yang disengaja”, sebuah strategi yang menurut Prof. Karimi “mengalihkan perhatian dunia dari penderitaan yang nyata di medan konflik seperti Gaza, dengan fokus pada turbulensi ekonomi.”
Mengapa Dunia Terdiam?
Laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International dalam dua tahun terakhir menunjukkan bahwa semakin sedikit negara yang berani mengecam kekerasan sistemik yang terjadi di Gaza. Salah satu penyebabnya adalah ketakutan terhadap pembalasan ekonomi dari negara-negara besar, terutama Amerika Serikat.
“Ketika hubungan perdagangan menjadi alat diplomatik, solidaritas kemanusiaan pun menjadi korban,” ungkap Prof. Karimi.
Negara-negara yang bergantung pada ekspor ke Amerika atau menerima bantuan militer dan keuangan dari Washington lebih cenderung memilih untuk tetap diam.
“Inilah wajah ekonomi global saat ini: efisien, namun membungkam,” tambahnya.
Kasus Indonesia: Terkepung Dua Kepentingan
Indonesia merupakan salah satu negara yang langsung terdampak oleh tarif proteksionis AS. Produk tekstil, komponen elektronik, dan barang manufaktur lainnya kini dikenakan tarif tinggi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa nilai ekspor tekstil Indonesia ke AS mencapai USD 4,8 miliar pada 2024. Dengan kenaikan bea masuk, industri domestik terancam kehilangan pangsa pasar dan mengalami penurunan produksi.
Efeknya tidak berhenti pada angka ekspor. Ribuan tenaga kerja di sektor padat karya, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah, menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja. “Tarif ini dapat menciptakan efek domino yang luas. Kita bicara tentang pengangguran, kemiskinan, hingga kontraksi konsumsi rumah tangga,” jelas Prof. Karimi.
Namun, Indonesia juga memiliki posisi diplomatik dan sejarah panjang dalam mendukung Palestina. Ini menjadi dilema moral dan politik yang sulit: bagaimana tetap mempertahankan suara kemanusiaan sambil menghadapi tekanan ekonomi global yang nyata?
Ketimpangan Sistemik: Ekonomi yang Memelihara Kekerasan
Dalam esainya di *Journal of Political Economy*, ekonom kritis Thomas Piketty menyatakan bahwa ketimpangan global tidak hanya muncul dari distribusi sumber daya yang tidak merata, tetapi juga dari kebungkaman dunia terhadap penindasan struktural. Gaza adalah contoh nyata dari hal ini. Genosida tidak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga melalui sistem ekonomi global yang mengabaikan empati dan menindas keberpihakan.
Prof. Karimi menegaskan, “Kebijakan tarif Trump dan kebungkaman terhadap Gaza adalah dua wajah dari kekuasaan yang sama: kekuatan yang menekan melalui ekonomi dan membungkam melalui ketakutan.”
Mencari Solusi: Respons Indonesia
Indonesia tidak bisa hanya menjadi korban. Menurut Prof. Karimi, beberapa langkah strategis yang dapat diambil oleh Indonesia meliputi:
- Diversifikasi pasar ekspor, khususnya ke Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
- Diplomasi perdagangan berbasis solidaritas untuk membentuk blok dagang alternatif dengan nilai-nilai kemanusiaan.
- Kebijakan fiskal ekspansif yang tepat sasaran, terutama di sektor padat karya dan pasar domestik.
- Penguatan industri dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor utama.
Selain itu, Indonesia bisa menginisiasi forum internasional yang membahas etika perdagangan global sebagai upaya untuk menyeimbangkan logika pasar dengan nurani kemanusiaan.
Diam Bukan Pilihan
Dunia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, stabilitas ekonomi menjadi kebutuhan yang mendesak, namun di sisi lain, suara-suara kemanusiaan tenggelam di bawah beban diplomasi dan ketakutan. Kebijakan tarif Trump bukan sekadar masalah neraca perdagangan. Ini adalah refleksi dari arsitektur kekuasaan global yang memungkinkan kekejaman tetap terjadi selama ekonomi tetap terlihat “stabil.
Indonesia dan dunia harus sadar bahwa menentang tarif sepihak dan mendukung Gaza bukanlah dua agenda yang terpisah, melainkan perjuangan bersama untuk mempertahankan integritas dunia yang manusiawi.
“Sudah saatnya kita melihat ekonomi tidak hanya sebagai soal angka, tetapi juga sebagai ruang moral. Karena hari ini, Gaza sedang menguji siapa kita sebenarnya,” tutup Prof. Dr. Syafrudin Karimi.(da*)