Tangerang, Rakyatterkini.com – Kabar kurang menggembirakan datang dari industri manufaktur Tanah Air. Dua perusahaan produsen sepatu yang memproduksi untuk merek global dilaporkan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan. Kedua pabrik tersebut berlokasi di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Perusahaan yang dimaksud adalah PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh Indonesia. PT Adis diketahui memberhentikan sekitar 1.500 pekerja, sementara PT Victory Ching Luh merumahkan kurang lebih 2.000 karyawan. Berdasarkan informasi dari laman resminya, PT Victory Ching Luh yang terletak di Pasar Kemis, Tangerang, merupakan mitra produksi dari brand Nike.
Kabar ini muncul bersamaan dengan laporan peningkatan aktivitas sektor manufaktur Indonesia. Pada Februari 2025, S&P Global melaporkan bahwa Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia menyentuh angka 53,6 – naik dari 51,9 di Januari. Angka di atas 50 menunjukkan adanya ekspansi dalam sektor ini.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian juga mencatat bahwa Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Februari 2025 meningkat menjadi 53,15 – lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya dan tahun lalu pada periode yang sama.
Terkait kabar PHK tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Yoseph Billie Dosiwoda, membenarkan bahwa memang telah terjadi pengurangan tenaga kerja di kedua perusahaan itu. Menurutnya, keputusan tersebut diambil sebagai langkah terakhir oleh perusahaan yang terdampak kondisi pasar.
"Setelah melakukan komunikasi dengan pihak Nike, informasi ini kami pastikan benar. Kami di asosiasi sangat prihatin atas situasi ini, dan memahami bahwa para anggota kami berupaya mempertahankan kestabilan agar PHK tidak terjadi," kata Billie kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/3/2025).
Ia menegaskan bahwa kedua perusahaan telah memenuhi tanggung jawabnya dengan memberikan hak-hak karyawan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Penyebab PHK Massal
Billie menjelaskan bahwa PHK ini telah berlangsung secara bertahap sejak November 2024. Salah satu penyebab utamanya adalah penurunan dan ketidakpastian pesanan dari luar negeri, yang tidak sebanding dengan tingginya biaya produksi.
"Sebagai perusahaan di kawasan berikat yang berorientasi ekspor, kondisi ini menjadi beban besar karena upah sektoral dan UMR yang tinggi tidak sejalan dengan volume produksi yang menurun," jelasnya.
APRISINDO juga menerima banyak keluhan dari perusahaan sepatu lainnya terkait regulasi pengupahan yang bervariasi antar daerah dan cenderung meningkat tajam. Hal ini membuat banyak perusahaan kesulitan dalam mempertahankan operasional saat pesanan lesu.
“Kami berharap pemerintah pusat maupun daerah dapat menciptakan kebijakan pengupahan yang lebih seimbang dan mendukung iklim usaha yang kondusif, sehingga PHK massal bisa dihindari,” tambahnya.
Meski terjadi pengurangan pekerja, Billie memastikan bahwa kedua pabrik tersebut masih tetap beroperasi dan belum melakukan penutupan produksi.
Sebagai perbandingan, ia menyebut bahwa kondisi serupa juga terjadi di negara lain seperti Vietnam yang juga mengalami penurunan pesanan. Namun, Vietnam belum melakukan PHK karena kebijakan pengupahan yang lebih fleksibel dan lingkungan usaha yang lebih mendukung.
Ia menutup dengan harapan bahwa kondisi ini tidak semakin memburuk, terutama di daerah yang masih menunjukkan iklim usaha yang baik seperti Jawa Tengah.(da*)