![]() |
Iran menjawab surat Donald Trump terkait negosiasi nuklir |
Jakarta, Rakyatterkini.com– Iran telah memberikan respons terhadap surat yang dikirim oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenai tawaran negosiasi terkait program nuklir. Trump diketahui mengirimkan surat tersebut kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, melalui perantara Uni Emirat Arab (UEA) pada awal Maret.
Dalam surat tersebut, Trump juga meminta UEA untuk berperan sebagai mediator dalam proses negosiasi. Sebagian isi surat tersebut menyatakan bahwa AS tidak akan ragu untuk mengambil tindakan militer apabila dalam dua bulan tidak ada kesepakatan yang dicapai.
Menanggapi surat itu, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyatakan bahwa pemerintah Iran telah mengirimkan balasan melalui perantara Pemerintah Oman.
Menurutnya, isi surat balasan tersebut sejalan dengan pernyataan berbagai pejabat Iran sebelumnya, yaitu bahwa Iran tidak akan bernegosiasi secara langsung di bawah tekanan.
"Kebijakan kami adalah menolak negosiasi langsung jika berada dalam tekanan dan ancaman militer maksimal. Namun, seperti sebelumnya, negosiasi tidak langsung tetap dapat berlangsung," ujar Araghchi seperti dikutip oleh kantor berita Irna.
Ia juga menambahkan bahwa dalam surat tersebut, Iran menyampaikan pandangannya mengenai situasi saat ini.
Tanggapan Trump
Presiden Trump tampaknya tidak puas dengan balasan dari Iran. Pada Jumat (28/3/2025), ia kembali melontarkan ancaman terhadap Iran.
Menurut Trump, jika Iran tidak mencapai kesepakatan mengenai program nuklir dengan AS, maka konsekuensi serius akan menimpa negara tersebut.
"Iran adalah salah satu hal utama yang saya perhatikan. Kita harus berdiskusi, jika tidak, sesuatu yang sangat buruk akan terjadi pada Iran," tegasnya.
Meskipun melontarkan ancaman, Trump menyatakan bahwa ia lebih memilih menyelesaikan persoalan ini secara damai.
Pada 2018, saat menjabat sebagai Presiden AS dalam periode pertamanya, Trump menarik AS keluar dari perjanjian pengendalian nuklir Iran, yakni Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), yang sebelumnya ditandatangani pada 2015 di era Presiden Barack Obama. Perjanjian tersebut melibatkan negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB serta Jerman.
Setelah keluar dari kesepakatan, AS kembali menerapkan sanksi yang berdampak pada perekonomian Iran.
Sebagai respons, Iran mulai mengurangi komitmennya terhadap kesepakatan dengan meningkatkan pengayaan uranium di atas batas yang telah ditetapkan. Hal ini kemudian memicu tuduhan dari AS dan Israel bahwa Iran berupaya mengembangkan senjata nuklir.
Namun, Iran secara tegas membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa program nuklirnya hanya digunakan untuk kepentingan energi sipil sesuai dengan perintah Ayatollah Khamenei.(da*)