![]() |
ilustrasi |
Jakarta, Rakyatterkini.com – Pasar keuangan Indonesia mencatat pergerakan beragam pada perdagangan Selasa (4/3/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru menguat. Di sisi lain, investor kembali menunjukkan minat terhadap Surat Berharga Negara (SBN).
Perdagangan pada Rabu (5/3/2025) diperkirakan akan dipengaruhi oleh faktor eksternal, salah satunya terkait kebijakan tarif perdagangan AS dengan negara tetangganya.
IHSG Anjlok, Investor Asing Mulai Masuk
Pada penutupan perdagangan Selasa, IHSG turun 2,14% ke level 6.380,4. Dari total saham yang diperdagangkan, 110 saham menguat, 473 melemah, dan 210 stagnan. Nilai transaksi mencapai Rp13,85 triliun, dengan volume perdagangan 21,64 miliar saham dalam 1,17 juta transaksi.
Meskipun IHSG melemah, investor asing mulai kembali masuk ke pasar saham, dengan total akumulasi pembelian asing di seluruh pasar mencapai Rp593,64 miliar.
Seluruh sektor mengalami tekanan, dengan sektor industri dasar mengalami penurunan terbesar sebesar 4,84%, disusul sektor energi yang turun 4,65%, serta sektor kesehatan yang terkoreksi tipis 0,05%.
Kinerja IHSG kali ini sangat kontras dibandingkan perdagangan pada 3 Maret 2025, di mana indeks sempat melonjak hampir 4%. Kenaikan tersebut terjadi setelah Bursa Efek Indonesia (BEI) mengadakan pertemuan dengan pelaku pasar serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait anjloknya IHSG pada 28 Februari 2025.
Dalam pertemuan tersebut, hadir sejumlah tokoh penting, termasuk Utusan Khusus Presiden Raffi Ahmad, Bos Adaro Garibaldi Thohir, Bos Sinar Mas Franky Widjaja, Bos Indika Energy Arsjad Rasjid, Ketua Kadin Anindya Bakrie, serta Agus Salim Pangestu dari Barito Group dan Agus Projosasmito dari Amman Mineral.
Selain itu, sentimen negatif IHSG juga dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan AS di bawah pemerintahan Donald Trump, yang kembali menaikkan tarif impor. Kanada dan Meksiko dikenakan tarif 25%, setelah sebelumnya sempat ditunda pada awal Februari. Sementara itu, China mendapat tambahan tarif impor sebesar 10%, naik menjadi 20%.
Rupiah Menguat di Tengah Melemahnya Dolar AS
Di pasar valuta asing, nilai tukar rupiah mengalami penguatan 0,21% dan berada di level Rp16.440 per dolar AS pada Selasa.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, menjelaskan bahwa penguatan rupiah didorong oleh pelemahan indeks dolar AS, yang terpengaruh oleh data PMI Manufaktur AS yang dirilis oleh Institute for Supply Management (ISM). Indeks tersebut turun ke level 50,3 pada Februari, dari sebelumnya 50,9 pada Januari.
"Penguatan rupiah lebih disebabkan oleh melemahnya indeks dolar AS. DXY bergerak turun setelah data ISM di Amerika Serikat menunjukkan pelemahan," ujar David kepada CNBC Indonesia.
Dalam jangka pendek, ia memproyeksikan rupiah akan bergerak dalam rentang Rp16.300 - Rp16.600 per dolar AS. Dari faktor domestik, tekanan inflasi yang masih rendah turut memberikan dukungan terhadap stabilitas rupiah.
Minat Investor terhadap SBN Meningkat
Sementara itu, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun mengalami penurunan dari 6,883% menjadi 6,879%.
Sebagai informasi, harga obligasi dan yield memiliki hubungan terbalik. Ketika yield turun, harga obligasi naik, yang menandakan meningkatnya minat investor terhadap pasar SBN Indonesia.