
RAKYATTERKINI.COM - Secara harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang other cultures, yang ditulis oleh antropolog berdasarkan catatan lapangan. Etno seringkali pula diartikan etnis atau sukubangsa.
Namun perlu dicatat saat ini etnografi tidak hanya dibatasi pada studi tentang other cultures atau tentang masyarakat kecil yang terisolasi dan hidup dengan teknologi sederhana, melainkan etnografi telah menjadi alat yang fundamental untuk memahami masyarakat kita sendiri dan masyarakat multikultural di mana pun. Karenanya, etnografi juga bisa diartikan sebagai sebuah metode penelitian.
Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia masyarakat secara timbal-balik: tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu etnografi berarti pula belajar dari masyarakat.
Ini sejalan dengan tujuan utama penelitian etnografi, yaitu untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Budaya didefinisikan sebagai the way of life suatu masyarakat.
Budaya bukanlah suatu fenomena material: budaya tidak terdiri atas benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi, melainkan sebuah pengorganisasian dari hal-hal tersebut.
Ciri khas dari metode penelitian etnografi adalah sifatnya yang holistik-integratif, deskripsi yang dalam, dan analisis kualitataif dalam rangka mendapatkan pandangan-pandangan masyarakat yang diteliti.
Ciri itu dibangun melalui teknik pengumpulan data dalam bentuk wawancara dan observasi-partisipasi, yang dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama –bukan kunjungan singkat dengan kuesioner seperti dalam penelitian survei.
Arkeologi
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari budaya manusia melalui jejak peninggalannya (budaya materi). Budaya materi jangan dipandang sebagai sesuatu yang mati, tetapi merupakan satu bagian yang terorganisir dalam “tubuh budaya”, dia punya makna dan nilai karena pernah “hidup” di tengah masyarakat, dan setelah ditinggalakan ia “hidup kembali” di tengah masyarakat sekarang.
Beberapa arkeolog yang menganut paham arkeologi pembaharuan (new-arcaheology) juga melihat bahwa budaya tidak hanya sebagai gagasan atau norma-norma, melainkan memandangnya sebagai upaya ekstrasomatis manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Budaya adalah sistem yang kompleks, yang melibatkan hubungan terpadu antara manusia, benda, dan lingkungannya. Budaya itu sendiri mewujud dalam bentuk tatanan sistematis dari ketiga unsur utamanya, yaitu subsistem teknologis-fungsional, sosial, dan ideal.
Karenanya, budaya bendawi lalu dianggap sebagai perangkat yang berfungsi dalam ketiga subsistem tersebut.
Etnoarkeologi
Etnoarkeologi merupakan salah satu kajian dalam disiplin arkeologi yang mempelajari dan menggunakan data etnografi untuk menangani atau membantu memecahkan masalah-masalah arkeologi.
Dari pengertian tersebut, maka metode etnografi sangat dibutuhkan dalam arkeologi, antara lain untuk memahami bagaimana suatu benda memiliki makna dan nilai di mata masyarakat, dan bagaimana sebuah benda itu berfungsi.
Perlu diingat bahwa inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari masyarakat yang ingin kita pahami, yang terekspresikan melalui bahasa (mitos, dongeng) dan perbuatan (tabu, upacara, perilaku keseharian, dan lain-lain).
Tinggalan arkeologis di Pegunungan Wilis, sebagai contoh, biasa dihubungkan dengan cerita Dewi Sekar Taji. Relevansi etnografi untuk arkeologi, salah satunya terletak pada upaya pencarian mitos atau cerita tentang Dewi Sekar Taji tersebut.
Tidak seperti survei mencari tinggalan arkeologi, pengumpulan data tersebut mau tidak mau harus dengan wawancara, mencatatnya secara sistematis dalam buku catatan lapangan, lalu setelah itu menuliskannya menjadi sebuah laporan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah peran etnografi dalam disiplin etnoarkeologi hanya sebatas untuk membantu memahami nilai atau makna benda arkeologi? Di atas telah disebutkan bahwa etnografi digunakan untuk membantu menangani atau memecahkan masalah-masalah arkeologi.
Adapun masalah-masalah arkeologi cukup beragam. Untuk bisa memahami kegunaan etnoarkeologi, maka kita perlu untuk mendudukan kajian ini dalam paradigma yang menjadi orientasi arkeologi.
Pada dasarnya, masalah-masalah arkeologi dibingkai oleh tiga paradigma dasar, yakni (1) menyusun sejarah budaya, (2) merekonstruksi cara-cara hidup, dan (3) menggambarkan proses perubahan budaya.
Etnoarkeologi sebagai sebuah istilah digagas oleh para penganut arkeologi pembaharuan (new archaeology) pada tahun 1960-an sebagai salah satu strategi untuk merekonstruksi cara-cara hidup.
Ini paling tidak nampak dari pendapat salah seorang penggasanya, Carol Kramer, yang menyatakan bahwa etnoarkeologi mengkaji aspek-aspek tingkah laku masnusia masa kini dari perspektif arkeologi.
Etnoarkeolog, menurut Kramer, mencoba secara sitematis menemukan hubungan-hubungan antara tingkah laku dan budaya materi yang seringkali tidak terungkap oleh etnolog, dan memastikan bagaimana pola tingkah laku hasil pengamatannya itu dapat digunakan untuk menjelaskan tinggalan arkeologi yang mungkin ditemukan (Kramer, 1979: 1).
Selain Kramer, masih banyak ahli arkeologi yang mencoba merumuskan definisi etnoarkeologi. Berikut ini adalah beberapa definisi etnoarkeologi menurut para ahli.
Studi mengenai budaya materi dalam konteks sistem untuk memperoleh informasi, baik secara khusus maupun umum, yang dapat digunakan dalam penelitian arkeologi (Schiffer, 1978).
Penggunaan analaogi secara teoritis yang dihasilkan dari observasi masa kini untuk membantu di dalam interpretasi tentang proses dan kejadian masa lalu (Kramer, 1979).
Studi terhadap komunitas yang masih hidup yang dipandang sebagai data arkeologi yang nantinya akan mereka tinggalkan, beserta tingkah laku yang tergambar dalam komunitas itu (Orme, 1981: 22-23).
Cabang disiplin arkeologi yang berusaha mempelajari dan menggunakan etnografi untuk menangani masalah-masalah arkeologi (Mundardjito, 1981) Kumpulan data etnografi asli yang dapat membantu interpretasi arkeologi (Stanislawski, 1982).
Pendekatan yang mencoba untuk menentukan bagaimana tingkah laku yang nampak dapat dipantulkan di dalam peninggalan yang dapat ditemukan oleh arkeolog (Kramer, 1982).
Studi yang mencakup penggunaan maupun makna artefak, bangunan, dan struktur-struktur masa kini dalam suatu masyarakat yang masih hidup, dan bagaimana barang-barang itu tergabung dalam catatan arkeologi (Colin dan Paul Bahn, 1991).
Berdasarkan beberapa pengertian etnoarkeologi di atas, jelas bahwa etnoarkeologi adalah alat, bukanlah data. Banyak arkeolog yang menganggap etnoarkeologi sebagai data, padahal yang menjadi data dalam kajian etnoarkeologi adalah data etnografi.
Karenanya banyak kajian-kajian etnoarkeologi yang tidak bisa dibedakan dengan etnografi, karena kajian-kajian tersebut berhenti pada penyajian data etnografi. Kita ambil contoh tentang penelitian seorang arkeolog di Situs Arca Domas, Banten.
Karena situs pemujaan tersebut masih digunakan hingga sekarang oleh Suku Baduy, maka si arkeolog menyebut penelitiannya sebagai kajian etnoarkeologi.
Laporan penelitian yang disajikan si arkeolog cukup lengkap, mulai dari tata ruang pemukiman hingga sistem kepercayaan. Apakah penelitian seperti itu bisa disebut kajian etnoarkeologi? Selama ia baru memaparkan data etnografi, maka penelitiannya belum bisa disebut kajian etnoarkeologi.
Jika mau disebut kajian etnoarkeologi, maka ia mesti mengemasnya sebagai sebuah contoh interpretasi atau merumuskannya menjadi sebuah model atau asumsi-asumsi yang bisa digunakan untuk menangani masalah-masalah arkeologi.
Etnoarkeologi adalah bidang kajian dalam arkeologi yang mempelajari manusia masa kini (kontemporer).
Melalui penelitian ini para etnoarkeolog dituntut untuk mendefinisikan secara sistematis hubungan antara tingkah laku manusia dengan budaya materi dan persebarannya, sehingga dapat dijadikan bahan untuk memecahkan masalah-masalah dalam penelitian arkeologi. (*)
Penulis: Abdul Jamil Al Rasyid
Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas