RAKYATTERKINI.COM - Bullying, baik secara langsung maupun melalui media digital, masih menjadi masalah besar di kalangan anak muda, khususnya generasi Z.
Fenomena ini tidak hanya merusak psikologis korban, tetapi juga mencerminkan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Di tengah zaman yang serba modern ini, di mana media sosial berkembang pesat dan kesadaran tentang kesehatan mental semakin meningkat, bullying tetap menjadi tantangan besar. Apakah ini berarti kita gagal menciptakan lingkungan yang inklusif dan saling menghargai?
Bullying bukan masalah individu, tetapi juga tantangan kolektif yang mencerminkan kegagalan kita dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menghadapinya, langkah nyata dari semua pihak mulai dari keluarga, sekolah, media sosial, dan pemerintah sangan diperlukan .
Bullying merupakan pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan dan pancasila, sebagai bangsa yang berlandaskan pancasila, bullying jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas. Sila kedua, “ kemanusiaan yang Adil dan beradab,” menekankan pentingnya perlakuan hormat tanpa diskriminasi.
Namun, bullying malah mencederai nilai tersebut dengan meninggalkan luka emosional dan fisik pada korban.
“Sekolah sangat menakutkan, aku tidak ingin pergi sekolah lagi, mereka semua jahat”, ujar seorang remaja yang menjadi korban bullying verbal selama 3 tahun lamanya. Testimoni ini menggambarkan betapa dalamnya luka akibat perilaku tidak beradab yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Bullying tidak hanya merusak keadilan dan kemanusiaan,tetapi juga mengancam persatuan. Ketika diskriminasi, ejekan, dan intimidasi berlangsung terus-menerus, hubungan antarindividu menjadi renggang, bahkan dapat memicu konflik sosial lebih luas.
Bullying memiliki dampak yang melampaui luka fisik atau penghinaan verbal. Korban bullying sering mengalami gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, dan PTSD.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) pada 2023, mengungkapkan bahwa 87 kasus bullying terjadi di lingkungan pendidikan,yang menunjukkan tingginya prevalensi kekerasan yang dialami remaja.
Dampak ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental, tetapi juga prestasi akademik dan kemampuan sosial korban.
Selain itu, lingkungan yang dipenuhi bullying menciptakan budaya ketakutan dan menurunkan kepercayaan antarindividu. Hal ini menghambat terciptanya kerja sama yang harmonis dan menggangu pembangunan sosial secara keseluruhan.
Bullying sering kali dipicu oleh berbagai faktor yang saling berkaitan :
1. Lingkungan keluarga
Anak yang tumbuh dalam keluarga yang penuh konflik atau kekerasan cenderung meniru perilaku tersebut. Kurangnya pola asuh positif dan kasih sayang dapat membuat anak merasa tidak aman dan menyalurkan frustasinya melalui tindakan agresif.
2. Pengaruh media sosial
Media sosial memberikan ruang subur bagi cyberbullying. Fitur anonimitas sering disalahgunakan untuk menyebarkan komentar negatif dan melakukan intimidasi. Menurut Cyberbullying Research center ( 2022 ), lebih dari 37 % remaja mengalami bullying online, yang memperburuk dampak psikologis mereka.
3. Tekanan sosial dan budaya kompetisi
Generasi Z sering menghadapi tekanan untuk tampil sempurna di hadapan teman-temannya. Dalam budaya kompetisi ini, bullying seingkali digunakan sebagai alat untuk menunjukkan dominasi atau meningkatkan status sosial.
Untuk mengatasi bullying diperlukan langkah-langkah konkret serta kolaborasi dari berbagai pihak :
1. Pendidikan karakter berbasis empati
Program pendidkan karakter berbasis empati seperti KiVa Anti-Bullying di Finlandia telah terbukti mengurangi insiden bullying hingga 40 %. Indonesia dapat mengadaptasi program ini dengan menyesuaikan konteks budaya lokal agar lebih efektif.
2. Pengawasan dan regulasi media sosial
Pemerintah dan platform media sosial harus bekerja sama memperketat regulasi terhadap konten yang mengandung bullying. Algoritma kecerdasan buatan dapat digunakan untuk mendeteksi dan menghapus konten negatif, serta memperkuat mekanisme pelaporan agar korban merasa aman dan didengar.
Pemerintah dan sekolah perlu menyediakan layanan konseling yang dapat diakses oleh korban dan pelaku bullying. Pelaku membutuhkan rehabilitasi untuk mengubah pola pikir agresif, sementara korban perlu pemulihan psikologis untuk membangun kembali kepercayaan diri mereka.
4. Kampanye sosial berbasis komunitas
Kampanye seperti #StopBullyingNow dan #BersamaMelawanBullying perlu diperluas dengan menggandeng influencer dan tokoh masyarakat. Kampanye ini akan lebih efektif jika didukung dengan edukasi yang memperkuat budaya anti-bullying.
Kesimpulan
Bullying adalah tantangan besar yang membutuhkan solusi kolektif. Dengan mengintegrasikan pendidikan karakter, pengawasan media sosial, dan layanan konseling yang efektif, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi pedoman utama dalam setiap langkah kita untuk melawan bullying.
”Dunia tanpa bullying adalah dunia di mana setiap individu dihargai, setiap suara didengar, dan setiap luka dapat sembuh. Mari kita menjadi sinar matahari yang mengusir awan gelap bullying. Perubahan dimulai dari diri kita hari ini." (*)
*) Penulis: Intan Wahyuni
Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas Padang