
RAKYATTERKINI.COM - Banjir dan longsor yang terjadi di sebagian wilayah Sumatra Barat bukan tanpa sebab. Awal tahun ini, bahkan dari tahun-tahun sebelumnya, berbagai negara di dunia mengalami bencana alam yang menimbulkan kerugian harta dan materiil, serta merenggut nyawa.
Bukan hanya muncul secara tiba-tiba, jumlah kejadian dan intensitas bencana alam juga meningkat. Apa yang terjadi hingga sekarang ini merupakan respon bumi yang mengalami kenaikan suhu.
Sejak terjadinya revolusi industri, jumlah karbon dioksida mengalami peningkatan. Tercatat jumlah karbon dioksida di atmosfer pada 2020 telah mencapai 410 ppm (part per million), atau 1,5 kali lipat dari jumlah yang tercatat pertama kali pada 1958 oleh Charles David Keeling di Mauna Loa Observatory.
Peningkatan ini akan terus berlangsung hingga pemerintah di seluruh dunia dapat mengalihkan penggunaan bahan bakar fosil ke sumber energi yang tidak menghasilkan emisi karbon. Meningkatnya karbon dioksida di atmosfer sangat penting diperhatikan. Ini berkaitan erat dengan klasifikasinya sebagai gas rumah kaca.
Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang berperan dalam menjaga suhu bumi tetap hangat dengan menahan panas di permukaan bumi. Fungsi utamanya adalah menyerap radiasi panas dari matahari dan mempertahankan suhu di bumi.
Kelebihan gas rumah kaca dapat menahan cahaya matahari yang seharusnya dipantulkan ke luar angkasa untuk menjaga kesetimbangan energi. Cahaya yang tertahan menyebabkan bumi melakukan “penyesuaian” dengan menaikkan suhu di permukaan bumi. Kenaikan suhu bumi inimengakibatkan perubahan iklim di seluruh dunia.
Perubahan iklim di bumi memengaruhi kondisi cuaca. Apabila pada tempat tertentu, terjadi anomali atau kondisi tidak biasa di atmosfer dalam waktu singkat, maka akan terjadinya cuaca ekstrem.
Munculnya cuaca ekstrem sangat bergantung pada kenaikan suhu bumi. Sehingga cuaca ekstrem akan semakin meningkat kejadiannya seiring dengan suhu yang terus naik. Akibatnya, bencana alam sering muncul di berbagai tempat.
Di antara bentuk cuaca ekstrem yang terjadi ialah hujan lebat. Hujan berasal dari uap-uap air hasil evaporasi dari laut pada umumnya. Uap air ini berkondensasi membentuk awan dan akan menurunkan hujan bila awan sudah tidak dapat menampung kondensasi air tersebut.
Air hujan yang telah di permukaan daratan ada yang tetap di tanah atau mengalir hingga ke tujuan akhir seperti danau atau laut. Air laut kemudian kembali berevaporasi akibat panas dari matahari, menjadi uap air, berkondensasi, dan seterusnya, menjadi siklus air yang terus berlangsung.
Meningkatnya suhu bumi telah meningkatkan jumlah air yang menguap.Makin banyak air menguap bukan sesuatu yang baik, karena ini dapat memperpanjang durasi serta bertambahnya intensitas hujan. Hujan yang terjadi pun menjadi lebih deras dari biasanya.
Diikuti angin yang kencang dan kilatan petir, hujan akan menjadi badai yang kuat dan mengganas. Hujan, yang sepatutnya sebagai berkah, menjadi bencana yang menakutkan.
Sejak awal abad 21, banjir di wilayah Sumatra Barat terus dialami masyarakat. Meski ada faktor lainnya seperti berkurangnya daerah hijau yang berperan menyerap sebagian air hujan, serta sampah-sampah yang dibuang sembarang oleh masyarakat sampai menumpuk, sehingga dapat menghambat aliran air di selokan, secara tidak langsung naiknya suhu bumi juga menjadi faktor terjadinya banjir.
Akibat bumi semakin panas, es yang ada pada daerah kutub mulai mencair. Menyebabkan ketinggian laut bertambah seiring waktu. Sehingga di bagian pesisir semakin sering mengalami banjir rob, terutama ketika hujan, badai, serta pasang surut. Di tengah daratan pun tidak terlepas dari banjir akibat dampak kenaikan suhu bumi, terutamasekitaran sungai dan waduk.
Akibat badai hujan intens yang tiba-tiba dan berlangsung lama, potensi terjadinya banjir bandang atau air bah semakin besar.Hantaman banjir ini juga dapat merusak bangunan, rumah-rumah dan infrastruktur dan bahkan meruntuhkannya.
Evakuasi penduduk menjadi sulit karena munculnya tiba-tiba dan lambatnya menanggapi bencana tersebut. Tidak sedikit nyawa terenggutdari bencana ini. Jika kenaikan suhu membuat berbagai wilayah semakin basah, maka kekeringan pun juga semakin menjadi. Meningkatnya suhu bumi membuat suhu maksimal musim kemarau ikut meningkat.
Meskipun Indonesia merupakan negara maritim sehingga sumber presipitasi melimpah, apabila dorongan angin tidak ada yang membuat awan tidak bergerak ke daratan yang kekurangan air, maka kekeringan dibeberapa wilayah Indonesia dapat terjadi.
Berkurangnya luas wilayah hutan juga memengaruhi kekeringan suatu wilayah. Pohon-pohon berperan dalam menyimpan cadangan air serta menahan air di bawah tanah untuk berevaporasi akibat radiasi matahari. Sehingga di bawah pohon terasa lebih lembabdan sejuk daripada ditengah lapangan kosong.
Deforestasi yang dilakukan untuk membangun wilayah urban menyebabkan air di permukaan semakin banyak mengalami evaporasi dan cadangan air tanah semakin berkurang, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, pertanian mengalami gagal panen, dan banyak makhluk hidup mati akibat dehidrasi.
Ini juga dapat diperparah dengan naiknya suhu bumi, maka resiko dari kekeringan semakin parah.
Seluruh pemerintah di dunia telah menanggapi kenaikan suhu bumi ini. Beberapa negara telah mengembangkan kendaraan listrik, mengalihkan sumber pembangkit listrik ke energi yang tidak menghasilkan emisi karbon, serta aturan yang mendukung untuk mengurangi emisi karbon.
Masyarakat tidak hanya menaati saja, tetapi juga turut ikut mengurangi gas rumah kaca ini. Seperti mengurangi menggunakan kendaraan pribadi, tidak buang sampah sembarangan, serta bekerjasama dengan pemerintah untuk mendukung gerakan nol emisi karbon. (*)
Penulis: Reza Ananda Ramadhan
Mahasiswa Fisika Universitas Andalas