Notification

×

Iklan

Kisah Perjuangan Santri, Bersahabat dengan Asap Dapur dan Kayu Bakar

Sabtu, 27 Agustus 2022 | 07:19 WIB Last Updated 2022-08-27T00:19:08Z

Santri Rumah Tahfidz Nurul Qur'an sedang memasak dengan api kayu.


Gunung Kidul, Rakyatterkini.com - Rumah Tahfidz Nurul Qur'an, merupakan salah satu rumah tahfidz di Desa Pathuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.


Jumlah santri mukim sekitar 40 yang didominasi oleh usia SD/MI, sebagian siswa SMP dan kurang dari lima siswa SMK. Sedangkan untuk santri non mukim yang berasal dari warga sekitar sebanyak 80 hingga 100-an santri. 


Santri-santri non mukim biasanya datang ke pondok ketika jadwal mengaji sore hari.


Dengan kondisi yang seadanya, pihak pengasuh dan pengelola rumah tahfidz memberlakukan sistem sukarela. Tidak semua santri diwajibkan membayar. Sehingga, untuk keperluan makan biasanya para santri mendapat bantuan supplai bahan masak dari pedagang sayur yang rutin mengirim.


Jika tidak ada bahan masak atau kiriman belum datang, para santri makan seadanya dengan ikan asin atau mie instan. Selama ini, untuk proses memasak dilakukan secara mandiri oleh para santri dengan jadwal piket. 


Satu hari para santri memasak sebanyak tiga kali. Mulai dari pagi ba’da shubuh, siang hari sepulang sekolah dan sore hari sebelum magrib.


“Selama ini masaknya itu pakai kayu bakar mbak, jadi asapnya banyak. Karena dapurnya dekat dengan rumah keluarga dan asrama santri putri asapnya masuk ke rumah, cukup mengganggu para santri dari segi kesehatannya,” ujar Ustadz Ahmad, selaku pengasuh Rumah Tahfidz Nurul Qur’an.


Dampak dari asap yang setiap hari terhirup adalah sering ada santri yang sakit termasuk keluarga ustadz. Setiap santri sakit dan berobat, kalimat pertama yang sering ditanyakan oleh dokter adalah apakah di pondok ada yang merokok. Karena rata-rata mereka menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasana).


Faktanya, peraturan pondok menyatakan semua yang tinggal di sana dilarang merokok. Setelah ditelusuri dan diobservasi lebih lanjut, ternyata penyakit tersebut diakibatkan dari asap kayu bakar yang setiap hari hamper lebih dari 10 jam terhirup santri.


“Walau masih seadanya, tapi santri di sini tetap semangat dalam belajar dan menuntut ilmu,” tambah Ustad Ahmad.


Dapur santri juga bisa dikatakan kurang layak, karena kondisi perabotan yang ada juga sangat kurang. Terlebih ketika musim hujan, area sekitar dapur pasti becek. 


Dapur yang selayaknya menjadi tempat higienis untuk mengolah makanan yang sehat untuk dikonsumsi, tak didapati pada dapur Rumah Tahfidz Nurul Qur’an. (rel)  



IKLAN



×
Berita Terbaru Update