Notification

×

Iklan

Indeks Kemerdekaan Pers 2021, Kesejahteraan Wartawan Dibahas

Rabu, 01 September 2021 | 16:02 WIB Last Updated 2021-09-01T09:02:30Z

Webinar Dewan Pers.


Padang, Rakyatterkini.com - Kemerdekaan pers di Indonesia masih menghadapi sejumlah persoalan disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang dimulai pada Maret 2020 sampai saat ini. 


Begitu juga pendapatan perusahaan pers, sehingga berakibat pada kesejahteraan wartawan, masih terjadinya kekerasan terhadap wartawan, tergerusnya audiens media massa, karena peran media sosial sebagai sumber informasi sehingga ketergantungan kepada media massa berkurang. 



Ini terungkap dalam webinar, yang digelar Dewan Pers, Rabu 1 September 2021, tentang hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers yang dilakukan di 34 provinsi, di lingkungan fisik dan politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan hukum pada 12 responden di setiap provisi, yang terdiri dari wartawan, pengusaha pers, pemerintah, dan masyarakat. 


Perusahaan pers di daerah amat tergantung pada kerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten-kota, untuk menghidupi operasionalnya. Ini secara langsung atau tidak langsung memengaruhi independensi pers berhadapan dengan kekuasaan. 


Wakil Ketua Dewan Pers, Henry Ch Bangun pada 'Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021' di Bintaro, Tangerang Selatan, Rabu (1/9/2021) siang, mengungkapkan pandemi Covid-19 membuat banyak perusahaan pers mengalami penurunan pendapatan karena merosotnya kegiatan perekonomian. 


Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers, Dewan Pers, Ahmad Jauhar, menuturkan sejak 2016 Dewan Pers melakukan survei untuk menyusun indeks kemerdekaan pers (IKP), dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan kondisi kemerdekaan pers di Indonesia. 


Survei IKP pada tahun 2021 dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kemerdekaan pers di Indonesia selama tahun 2020. Terpilih selaku pelaksana teknis survei pada tahun 2021 yaitu PT Sucofindo. 


Mengutip hasil survei, Ahmad Jauhar menyatakan, selain ketergantungan yang cukup tinggi perusahaan pers pada pemasukan dari iklan pemerintah daerah, juga ada masalah kekerasan terhadap wartawan yang masih terjadi di beberapa daerah. 


Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021, menghadirkan penanggap Usman Kasong dari Kementerian Kominfo, Dewi Sri Soetijaningsih dari Bappenas, Wapemred harian Kompas Tri Agung Kristanto, serta akademisi dari UGM Kuskridho Ambardi. 


Hasil Survei IKP 2021 Peneliti dari PT Sucofindo, Ratih Siti Aminah menyampaikan nilai IKP 2021 mencapai angka 76,02, artinya bahwa kehidupan pers selama tahun 2020 termasuk 'cukup bebas'. 


Rentang nilai yang masuk kategori 'cukup bebas' adalah 70-89. Sedangkan nilai 90-100 merupakan kategori 'bebas'. 


Selama tiga tahun berturutturut (2019-2021) indikator kebebasan berserikat bagi wartawan selalu menempati peringkat pertama, yang mengindikasikan tidak banyak ditemukan adanya intervensi perusahaan pers terhadap wartawan untuk mengikuti organisasi wartawan maupun serikat pekerja di daerah.


Kebebasan media alternatif yang menempati urutan ke-2 tertinggi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup bebas untuk menciptakan media alternatif dengan kegiatan jurnalisme warga hampir di seluruh wilayah Indonesia. 


Merebaknya media alternatif beriringan dengan penetrasi teknologi informasi secara nasional, akses internet yang berkembang hampir merata, telah membuka kran informasi lebih luas, termasuk bagi kelompok rentan. 


Sementara itu, hasil IKP tahun 2017-2020 menunjukkan adanya satu indikator, yaitu perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas yang secara konsisten berada pada nilai paling rendah. Memang, nilai pada indikator sempat mengalami kenaikan. 


Pada IKP 2017, indikator ini mendapat nilai 34,22, IKP 2018 mendapat nilai 43,92, IKP 2019 mendapat nilai 56,77, dan pada IKP 2020 mendapat nilai 63,56. 


Namun pada IKP 2021 mendapat nilai 60,66. Artinya, nilai perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas ini masih tetap berada dalam kategori 'Sedang' atau pada kondisi kebebasan pers 'agak bebas'. 


Penilaian ini sesuai dengan fakta bahwa di 34 provinsi yang disurvei, belum ada peraturan yang mendorong media massa untuk menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, seperti penderita tunarungu dan tunanetra. (rel/gp)



IKLAN



×
Berita Terbaru Update