Notification

×

Iklan

Fenomena Pendidikan di Zaman 'Now'

Senin, 10 Mei 2021 | 15:52 WIB Last Updated 2022-05-23T12:29:13Z

Ilustrasi.


Oleh: Fifi Yarni, S.Pd, (Guru SMK SMAK Padang)


RAKYATTERKINI.COM - Zaman now terkadang membuat kita berada dalam situasi antara ingin tertawa dan mengelus dada. 


Semisal, ketika anak zaman old yang hobinya bermain di luar rumah harus dijemput oleh sang ibu agar pulang ke rumah, karena hari sudah telanjur sore. 


Sebaliknya, zaman now malahan sang ibu yang sibuk, agar anaknya mau keluar rumah untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-temannya, karena sudah telanjur kecanduan gadget.


Lalu siapa yang salah? Tidak ada yang salah di sini. Sebab, zaman now tidak mengajarkan hal buruk, tetapi fenomena di dalamnya lah yang memperburuk citra anak zaman now tersebut.


Zaman sekarang bisa saja berisi tentang tren mendapatkan beasiswa, memenangkan kejuaraan akademik, prestasi olahraga, dan lain-lain. Sehingga fenomenanya lah yang perlu dipositifkan, agar kesan anak zaman now bukan seolah lucu, dan menjerumuskan.


Menyalahkan generasi milenial yang telanjur kecanduan perangkat digital, sama halnya menyalahkan kemajuan teknologi itu sendiri yang bisa berarti sebuah kekeliruan. 


Marc Prensky, seorang penulis dan pemerhati pendidikan asal Amerika Serikat, pernah berujar for our twenty-first century kids, technology is their birthright. Ini mengindikasikan bahwa keterikatan generasi masa kini dengan teknologi merupakan sebuah hal yang tak terhindarkan.


Yang menjadi catatan ialah bagaimana teknologi dalam bentuk internet, game online, maupun media sosial dapat diarahkan untuk digunakan dalam ruang yang lebih positif bagi kids zaman now.


Dunia pendidikan memiliki peranan penting untuk memanifestasikan hal ini. Salah satunya dengan memberdayakan para gurunya menjadi guru zaman now. 


Salah satu kualifikasi untuk menjadi guru di abad ini ialah melek teknologi. Alih-alih menyalahkan teknologi, guru zaman now sebaiknya mampu menerjemahkan kemajuan teknologi secara tepat dan proporsional bagi proses pembelajaran.


Bercermin sejarah ketika Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur di bom atom, Kaisar Hirohito tidak mengkhawatirkan bangunan gedung yang hancur atau harta benda yang lenyap, tetapi menanyakan berapa jumnlah guru yang tersisa. 


Ketika ada yang menjawab sekitar 250 ribu guru, Hirohito pun dengan lantang berucap, Jepang akan lebih maju ke depannya. 


Akhirnya perkataan itu terbukti dari era 60-an sampai saat sekarang ini Jepang sangat maju, baik dari sektor ekonomi maupun teknologi. 


Jepang bangkit bukan karena harta kekayaan atau harta karun yang dimilikinya, akan tetapi karena guru-guru yang layak diteladani. Dari tangan gurulah generasi emas setiap bangsa akan lahir.


Menjadi guru bukan sekadar bertanggung jawab memberikan asupan pelajaran, tetapi juga harus mampu mendidik moral, etika, integritas, dan karakter. 


Guru juga, harus membina, melatih, mendidik, dan membimbing peserta didik. Tak kalah pentingnya, guru mesti melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat.


Sangat mencengangkan melihat budaya santun menjadi barang langka. Begitu mudahnya seorang siswa menceritakan hal yang tidak baik mengenai gurunya di medsos. 


Atau yang lebih parah, yang menabrak susila dan budaya adalah guru itu sendiri. Tidak sedikit kita dibuat cengang oleh sebagian perilaku guru yang tak pantas ditiru. 


Mungkin begitulah ketika budaya santun di Negara Indonesia sudah dirusak. Oleh karena itu, dengan kondisi saat ini, hendaknya Indonesia bercermin kepada Austria atau Jepang, kalangan pendidik, para guru, bisa menjadi tempat menggantungkan harapan akan negara yang lebih baik ke depannya.


Mengenai hal itu, masih sangat segar dalam ingatan, pada awal kemerdekaan hingga awal 2000-an, guru begitu mulia dan diagungkan, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. 


Posisi guru yang begitu agung itu bukanlah tanpa makna. Itu tak lepas dari perannya yang begitu luar biasa dalam menghasilkan generasi-generasi yang beradab dan berkarakter. 


Makanya, slogan guru, 'digugu dan ditiru' benar-benar melekat pada dirinya. Untuk itulah, pada setiap 25 November wajib dijadikan refleksi oleh semua guru, bahwa guru punya tugas mulia untuk menuntaskan tanggung jawabnya sebagai benteng moral. Bukan sekadar hajatan seremonial.


Jika boleh memberi usul, di negara kita guru perlu mengikuti zaman, dan tidak gaptek. Diharapkan semua guru agar setiap kali mengajar, menyisihkan waktu sedikit untuk menyampaikan contoh nilai kehidupan yang luhur, baik dari pengalaman pribadi, keteladanan tokoh-tokoh, dan juga penggunakan teknologi yang baik. 


Ini untuk mengembalikan posisi guru sebagai pendidik, pelatih, dan pembimbing moral. 


Pengawasan 

Dari pengaruh baik dan buruknya fenomena anak zaman now ini, tetap saja harus mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, terlebih orangtua. 


Orangtua sebagai institusi yang paling kecil dan paling dekat dengan kita harus menjadi pengawas bagi pengaruh fenomena-fenomena sejenis yang akan datang.


Orangtua memberikan bimbingan, mana baik yang patut dicontoh dan mana yang buruk harus dihindari adalah langkah awal yang perlu dilakukan. 


Sementara itu lembaga pemerhati anak dan semacamnya juga bisa turut berperan memberikan wejangan terkait fenomena-fenomena yang sedang terjadi. 


Seperti yang dilakukan Kak Seto sebagai Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, ia menyampaikan wejangan tentang kids zaman now bahwa fenomena seperti ini harus diisi dengan hal positif.


Disisi lain fenomena-fenomena seperti ini tidak juga harus dibatasi penuh. Tetapi apabila bisa dimanfaatkan untuk hal yang positif seperti yang saya katakan diawal, maka tidak salah dilakukan. 


Karena anak-anak pun dan bahkan semua orang butuh aktualisasi diri dan hiburan bukan? Tetapi alangkah baiknya jika aktualisasi diri dan hiburan yang dibuat adalah yang berbobot, mendidik dan tidak berpengaruh buruk. (**)



IKLAN



×
Berita Terbaru Update