Notification

×

Iklan

Statuta Baru PSSI Perkuat Peran Asprov dan Askot

Sabtu, 07 Juni 2025 | 22:02 WIB Last Updated 2025-06-07T15:02:00Z

Ketua Umum PSSI, Erick Thohir


Jakarta, Rakyatterkini.com – Kongres Biasa PSSI 2025 yang digelar pada Rabu (4/6/2025) di Jakarta menghasilkan sejumlah keputusan penting. Salah satu poin utama adalah penyesuaian terhadap Statuta PSSI, yang kini resmi diperbarui dari versi 2019 menjadi Statuta 2025.

Perubahan ini bertujuan memperkuat peran daerah dalam pengembangan sepak bola nasional, khususnya melalui Asprov (Asosiasi Provinsi), Askot (Asosiasi Kota), dan Askab (Asosiasi Kabupaten) yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan PSSI di berbagai wilayah Indonesia.

Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menyampaikan kepada media bahwa terdapat tiga pokok perubahan dalam Statuta terbaru ini. Menurutnya, pengembangan sepak bola kini tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pusat, tetapi lebih diarahkan pada pemberdayaan wilayah.

“Yang paling penting dalam perubahan statuta ini adalah bahwa pembangunan sepak bola nasional tidak hanya bergantung pada pusat. Justru sekarang, daerah menjadi ujung tombaknya,” ujar Erick.

Dalam Statuta yang baru, peran Asprov diperkuat secara signifikan. Pemilihan Ketua Asprov tetap dilakukan secara terbuka, namun untuk pengembangan infrastruktur dan pengelolaan di tingkat lokal, Ketua Asprov akan memiliki kewenangan menunjuk Ketua Askot dan Askab.

Selama ini, kata Erick, koordinasi antara Asprov dan pengurus di tingkat kota atau kabupaten masih menemui hambatan. Dengan struktur baru yang lebih sinergis, hal itu diharapkan bisa teratasi.

“Misalnya nanti Liga 4 digelar di kota-kota selama empat bulan. Pemenangnya akan melaju ke tingkat provinsi dan bertanding di Liga 3. Ini menciptakan kesinambungan dan fleksibilitas dalam sistem kompetisi,” jelasnya.

Erick memberi contoh situasi di Bali, yang memiliki 9 kabupaten/kota dengan total 50 klub. Namun, hanya dua kota yang memiliki jumlah klub cukup (masing-masing 14) untuk menjalankan kompetisi. Sementara 7 kota lainnya hanya memiliki 22 klub secara keseluruhan. Melalui kerja sama antara Asprov dan Askot, maka 22 klub dari 7 kota tersebut bisa digabungkan untuk menjalankan kompetisi Liga 4 tanpa ada ego sektoral.

“Nantinya mereka juga bisa menentukan kuota untuk Liga 3. Misalnya Denpasar menyumbang 3 klub, kota lain 3 klub, dan gabungan dari 22 klub diwakili 8 klub. Jadi total 14 klub kembali bersaing di Liga 3. Ini contoh fleksibilitas yang sebelumnya sulit diwujudkan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Erick juga menyoroti realitas geografis Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau. Ia mencontohkan wilayah di Kalimantan Timur yang secara jarak lebih dekat ke Kalimantan Utara. Dalam kondisi seperti ini, kerja sama antardaerah sangat penting.

“Kalau Asprov dan Askot bersinergi, mereka bisa menyesuaikan wilayah kompetisi agar lebih efisien secara logistik. Misalnya wilayah yang lebih dekat ke Kalimantan Utara bisa dialihkan ke sana, sehingga biaya transportasi bisa ditekan,” imbuhnya.

Ia menekankan bahwa pendekatan pembangunan sepak bola tidak bisa sepenuhnya sentralistik. Keterlibatan daerah menjadi kunci utama.

“Kita tidak mungkin mengandalkan pusat sepenuhnya untuk membangun sepak bola. Dana tidak akan pernah cukup,” tegasnya.

Erick juga menyebut bahwa meskipun saat ini PSSI memiliki anggaran terbesar sepanjang sejarah, kebutuhan terus bertambah.

“Futsal, sepak bola pantai, semuanya masih butuh perhatian. Oleh karena itu, distribusi anggaran harus merata dan adil,” ujarnya.

Ia pun menutup pernyataannya dengan keyakinan bahwa sistem baru ini akan membawa dampak positif dalam dua tahun ke depan.

“Fleksibilitas seperti inilah yang selama ini sulit diwujudkan. Sekarang kita punya formulanya. Saya yakin sistem ini akan lebih adil, merata, dan membawa kemajuan bagi sepak bola Indonesia,” pungkas Erick.(da*)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update