Notification

×

Iklan

Madleen, Nelayan Wanita yang Jadi Simbol Perlawanan Gaza

Sabtu, 07 Juni 2025 | 10:06 WIB Last Updated 2025-06-07T03:06:00Z

Madleen Kulab dan suaminya, Khader Bakr, bersama keempat anak mereka di rumah


Gaza, Rakyatterkini.com — Saat kapal Madleen berlayar menuju Gaza membawa bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, sedikit yang tahu bahwa kapal itu dinamai dari sosok perempuan luar biasa: Madleen Kulab, satu-satunya nelayan wanita di Gaza.

Tiga tahun lalu, ketika Al Jazeera pertama kali bertemu Madleen Kulab (atau Madelyn Culab), dia adalah seorang ibu dari dua anak, sedang mengandung anak ketiga, dan menjalani kehidupan sederhana di Kota Gaza bersama suaminya, Khader Bakr, 32 tahun, yang juga bekerja sebagai nelayan.

Kini berusia 30 tahun, Madleen terus berlayar tanpa takut, menembus batasan blokade kapal perang Israel demi mencari ikan yang bisa dijual di pasar lokal sebagai sumber penghidupan keluarganya.

Ketika konflik brutal yang dijuluki genosida Israel di Gaza pecah, keluarga Madleen mengalami ketakutan yang mendalam. Tragedi semakin parah ketika ayah Madleen tewas dalam serangan udara pada November 2023, hanya beberapa langkah dari rumah mereka.

Dalam kondisi hampir sembilan bulan mengandung, Madleen dan keluarganya melarikan diri ke Khan Younis, kemudian ke Rafah, Deir el-Balah, dan akhirnya Nuseirat. Setelah beberapa waktu, mereka kembali ke puing-puing rumah mereka di Kota Gaza, ketika tentara Israel mengizinkan pengungsi kembali ke utara pada Januari.

Tanggung Jawab dan Kebanggaan

Di tengah kehancuran rumahnya, Madleen duduk di sofa tua bersama tiga dari empat anaknya: bayi Waseela yang berusia satu tahun di pangkuannya, Safinaz lima tahun, dan Jamal tiga tahun, anak yang sedang dikandungnya saat pertemuan pertama dengan Al Jazeera.

Dia menceritakan perasaan saat mendengar dari seorang aktivis Irlandia bahwa kapal yang mencoba menerobos blokade di Gaza akan dinamai sesuai namanya.

"Saya sangat tersentuh. Ada rasa tanggung jawab yang besar dan sedikit kebanggaan," ujarnya sambil tersenyum.

Madleen mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada para aktivis yang rela meninggalkan kenyamanan mereka demi berdiri bersama Gaza meski menghadapi risiko besar. Di antara mereka terdapat sosok terkenal seperti aktivis iklim Swedia Greta Thunberg dan anggota Parlemen Eropa asal Prancis, Rima Hassan.

Menurut Madleen, aksi ini merupakan bentuk kemanusiaan dan pengorbanan tertinggi di tengah bahaya yang mengancam.

Suaminya, Khader, duduk tak jauh dari sana sambil memperlihatkan foto Madleen sedang mengibarkan bendera Palestina. Madleen telah melaut sejak usia 15 tahun, akrab dengan para nelayan lain dan dikenal oleh komunitas aktivis solidaritas internasional.

Selain menjadi nelayan, Madleen juga ahli memasak. Dia terkenal dengan hidangan ikan khas Gaza, terutama masakan berbahan ikan sarden yang sangat digemari. Namun kini, setelah kapal dan perlengkapan mereka hancur akibat serangan Israel, ia tidak bisa melaut lagi, begitu pula suaminya.

"Kami kehilangan segalanya. Semua hasil kerja keras seumur hidup," ungkapnya.

Kehilangan itu tak hanya soal mata pencaharian, tapi juga identitas dan hubungan emosionalnya dengan laut. Bahkan kegembiraan sederhana seperti makan ikan yang dulu dinikmati hampir setiap hari kini menjadi barang mewah.

"Ikan sangat mahal, bahkan sulit ditemukan. Hanya sedikit nelayan yang masih memiliki peralatan dan mereka mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan sedikit hasil," katanya sedih.

Hidup dalam Keputusasaan dan Harapan

Setelah serangan udara menghantam dekat rumah mereka pada November 2023, Madleen dan keluarganya mengungsi ke Khan Younis sesuai arahan tentara Israel. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil bersama 40 pengungsi lainnya, saat Madleen harus melahirkan anak keempatnya dalam kondisi yang sangat sulit tanpa bantuan medis memadai.

"Persalinannya berat dan brutal. Tidak ada obat penghilang rasa sakit, dan saya harus meninggalkan rumah sakit segera karena tidak ada tempat tidur tersedia akibat banyaknya korban luka," ceritanya.

Setelah itu, mereka harus tidur di lantai tanpa kasur atau selimut, termasuk Madleen dan bayinya. Kondisi itu sangat melelahkan secara fisik.

Di Gaza, susu formula, popok, dan makanan dasar kini langka. Perang mengubah pandangannya tentang penderitaan dan kesulitan, jauh melebihi beban yang mereka alami selama blokade dan penghancuran kapal sebelumnya.

"Tidak ada kata 'sulit' lagi. Tidak ada yang sebanding dengan rasa hina, kelaparan, dan kengerian yang kami alami selama perang ini," ujarnya dengan tegas.

Kapal Bernama Madleen, Sebuah Pesan Kemanusiaan

Selama perang, Madleen tetap berkomunikasi dengan teman-teman dan aktivis solidaritas internasional yang selama ini dikenalinya.

"Saya berbagi kisah nyata saya dengan mereka. Mereka memahami situasi kami dan membuat saya merasa seperti punya keluarga di luar sana," katanya.

Dukungan emosional dan bantuan finansial dari mereka membuat Madleen percaya bahwa Gaza tidak dilupakan.

Namun, dia juga khawatir kapal yang dinamai sesuai namanya tidak akan diizinkan mencapai Gaza oleh otoritas Israel, mengingat upaya-upaya sebelumnya selalu dicegat.

Yang lebih mengerikan menurutnya adalah risiko serangan langsung, seperti yang terjadi pada kapal Turki Mavi Marmara pada 2010 yang menewaskan beberapa orang.

Meski demikian, Madleen yakin misi itu telah menyampaikan pesan yang kuat.

"Ini adalah seruan untuk menghentikan keheningan dunia, untuk mengalihkan perhatian dunia terhadap apa yang terjadi di Gaza. Blokade harus dihentikan, dan perang ini harus segera berakhir," ujarnya penuh harap.

"Walaupun kapal saya mungkin akan dihancurkan, nama saya akan terus berlayar melintasi lautan," tutup Madleen dengan penuh keyakinan.(da*)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update