Notification

×

Iklan

Di Antara Jajan dan Cicilan Paylater

Senin, 26 Mei 2025 | 10:45 WIB Last Updated 2025-05-27T10:48:45Z

‎Jajan dan Cicilan Paylater. (Sumber: Pinterest/The Sun)

‎RAKYATTERKINI.COM - “Gaji cuma numpang lewat.” Kalimat ini mungkin terdengar akrab di telinga banyak anak muda hari ini. Baru seminggu gajian, notifikasi pembayaran dari aplikasi e-wallet dan layanan paylater sudah antre menyapa. 

Seakan-akan hidup ini hanya tentang mengejar promo, mencicil gaya hidup, dan menampilkan versi terbaik diri di media sosial.
‎Fenomena ini bukan sekadar keluhan harian. Sebuah survei oleh Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa 63% Gen Z menggunakan paylater untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, mulai dari fashion hingga gaya hidup. 

Ironisnya, hanya sebagian kecil yang memiliki rencana keuangan jangka panjang. Gaya hidup instan dan dorongan untuk selalu tampil “kekinian” kerap mengaburkan batas antara kebutuhan dan keinginan.
‎Namun, di balik derasnya arus konsumsi digital ini, terselip pertanyaan mendasar, untuk apa sebenarnya kita hidup? Apakah hidup hanya tentang memenuhi hasrat belanja dan eksistensi daring? Ataukah ada motivasi yang lebih bermakna yang perlu kita gali—tentang bagaimana mengelola hidup, uang, dan harapan secara lebih bijak?
‎Ketika Gaya Hidup Jadi Tekanan Sosial
‎Kehidupan Gen Z tidak bisa dilepaskan dari internet. Mereka tumbuh di tengah paparan konten-konten glamor, life goals selebgram, dan gaya hidup high class yang dibungkus dalam estetika filter Instagram atau video TikTok berdurasi 15 detik. 

Akibatnya, banyak yang tanpa sadar membandingkan diri, memaksakan pencapaian instan, dan menjadikan konsumsi sebagai jalan pintas menuju validasi sosial.
‎Masalahnya, tekanan untuk “terlihat sukses” ini justru memicu kecemasan finansial. Menurut laporan OCBC NISP Financial Fitness Index (2023), lebih dari 70% Gen Z merasa tidak siap menghadapi kondisi darurat finansial, sementara hampir separuhnya tidak memiliki tabungan pensiun sama sekali.
‎Alih-alih hidup untuk bertumbuh, banyak yang justru terjebak dalam siklus “kerja – konsumsi – cicilan – kerja lagi”, tanpa sempat bertanya apakah semua ini benar-benar membuat mereka bahagia atau sekadar mengikuti arus.
‎Bukan Soal Larangan Konsumsi, tapi Soal Kesadaran
‎Bukan berarti nongkrong di kafe kekinian atau belanja online adalah hal buruk. Persoalannya muncul ketika semua itu dilakukan tanpa kendali dan tanpa tujuan yang lebih besar. Di sinilah pentingnya literasi keuangan, kemampuan memahami cara kerja uang, merencanakan masa depan, dan membuat keputusan bijak.
‎Literasi keuangan bukan semata soal menabung atau investasi, tapi juga soal memahami nilai hidup. Mengapa kita bekerja? Untuk apa kita menghasilkan uang? Apakah semua itu hanya demi membeli lebih banyak barang, atau ada misi hidup yang lebih luhur?
‎Motivasi hidup sejatinya bertumbuh dari kesadaran, bahwa hidup bukan perlombaan gaya, melainkan perjalanan menemukan versi terbaik diri sendiri—yang tidak mudah goyah hanya karena tren, dan tidak mudah lelah karena standar orang lain.
‎Menemukan Arah, Menata Langkah
‎Jika gaya hidup konsumtif adalah cerminan dari krisis makna, maka langkah awal untuk berubah bukan sekadar menahan diri belanja, tapi mulai dari bertanya, apa tujuan hidup saya?
‎Motivasi sejati tak selalu datang dari seminar atau kata-kata bijak. Kadang, ia muncul saat kita berani jujur pada diri sendiri—tentang kekhawatiran, tentang keinginan, dan tentang masa depan yang ingin diperjuangkan. 

Dalam dunia yang serba cepat ini, mungkin kita perlu memperlambat langkah sejenak, bukan untuk berhenti, tapi untuk memahami arah.
‎Karena pada akhirnya, hidup yang bermakna bukan ditentukan oleh seberapa banyak yang kita konsumsi, melainkan oleh seberapa bijak kita mengelola harapan, usaha, dan arti dari setiap pilihan yang kita ambil. (*)

Penulis: Rio Ferdinand
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta


IKLAN



×
Berita Terbaru Update