![]() |
Paul Soetopo Tjokronegoro. |
RAKYATTERKINI.COM - Di atas langit Washington, seekor elang tua kembali mengibaskan sayapnya. Donald J. Trump, dengan gaya khasnya yang penuh kontroversi dan slogan “America First,” sekali lagi mencengkeram panggung politik dunia.
Namun, kali ini, bukan hanya Amerika yang bersiap-siap. Dunia pun menahan napas. Termasuk Indonesia.
Babak Baru: Kebijakan Trump Tarif 10% untuk semua barang impor ke AS
Saat Trump berbicara tentang kembalinya kekuatan ekonomi Amerika, ia tidak sedang bercanda. Ia menuding 58 negara—termasuk Indonesia—sebagai penghambat ekspor AS.
Menurutnya, negara-negara ini terlalu membatasi masuknya produk Amerika, dari kedelai hingga mobil, dari aplikasi digital hingga ayam potong. Bagi Trump, ini bukan perdagangan yang adil. Ini perang dagang yang perlu dilawan.
Maka mulailah babak baru proteksionisme. Trump menyiapkan tarif impor baru, menyusun ulang perjanjian dagang, bahkan mengancam keluar dari WTO jika tak sesuai kehendaknya. Ia ingin dunia membeli lebih banyak dari AS, bukan sebaliknya. Dan jika tidak, maka “hukuman dagang” bisa diberlakukan.
Gempa Dagang dan Riaknya ke Seluruh Dunia
Eropa bergolak, Tiongkok bergetar, Meksiko mendesah. Negara-negara pengekspor mulai menghitung ulang rencana ekspornya. Ketidakpastian membayangi ekonomi global. Investasi tertahan. Pasar keuangan bergejolak.
Indonesia pun terkena riaknya. Terdaftar sebagai salah satu dari 58 negara yang dianggap menghalangi ekspor Amerika, Indonesia berisiko menghadapi tekanan dagang, pencabutan fasilitas preferensi (seperti GSP), hingga tarif tambahan atas produk unggulannya. Produk-produk seperti tekstil, karet, dan elektronik bisa menjadi sasaran empuk.
Tapi, Apakah Kita Hanya Korban?
Tidak juga.
Di balik badai, selalu ada peluang. Indonesia bisa belajar satu hal penting dari Trump: menjaga kepentingan nasional harus berani dan cerdas.
Inilah saatnya bagi Indonesia untuk menyusun strategi, bukan sekadar bertahan, tapi maju menyerang dengan elegan.
Strategi Indonesia: Menari di Tengah Badai
1. Diversifikasi Pasar dan Mitra Strategis
Jika Amerika menutup sebagian pintu, Indonesia harus membuka jendela ke kawasan lain: Afrika, Asia Tengah, Timur Tengah, bahkan Amerika Latin. Perjanjian dagang bilateral dan regional seperti RCEP dan IA-CEPA harus dioptimalkan.
2. Perkuat Produk Unggulan yang Tidak Tergantung Pasar AS
Microgreen, produk hidroponik, ikan sehat, dan tempe higienis—contoh produk yang kini menjadi andalan Agriyaponik—dapat dikembangkan lebih luas ke pasar yang menghargai kualitas, bukan hanya kuantitas.
3. Gunakan Diplomasi Ekonomi yang Cerdas dan Terbuka
Indonesia bisa mengajukan dialog terbuka dengan AS. Jangan buru-buru menyerah atau marah. Sebaliknya, jadilah mitra kritis yang rasional. Sampaikan bahwa perdagangan yang adil adalah dua arah, bukan satu arah.
4. Bangun Kemandirian Teknologi dan Industri Dalam Negeri
Jika AS menahan pasokan teknologi atau perangkat digital, Indonesia harus mempercepat penguatan sektor riset dan inovasi. Universitas, startup, dan inkubator bisnis seperti Agriyaponik harus menjadi motor penggerak inovasi lokal.
5. Bentuk Komunitas Produsen, Bukan Hanya Konsumen
Rakyat perlu dibangkitkan menjadi produsen pangan dan barang kebutuhan, bukan sekadar konsumen pasif. Inisiatif anti-stunting, makanan bergizi gratis, dan UMKM berbasis komunitas harus mendapat dorongan penuh.
Ketika Trump mengibaskan sayapnya, dunia memang terguncang. Tapi Indonesia tidak perlu panik. Justru di tengah badai ini, bangsa yang cerdas dan berkarakter bisa naik kelas. Ini bukan saatnya menjadi penonton di panggung perdagangan global.
Ini saatnya Indonesia menjadi pemain utama—yang tahu kapan harus bertahan, kapan harus menyerang, dan kapan harus menari di tengah badai.
Karena sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani mengubah tantangan menjadi peluang.
*) Penulis: Paul Soetopo Tjokronegoro
- Ikal Strategic Center