Notification

×

Iklan

Ketegangan Global dan Dampaknya pada Ekonomi Indonesia

Selasa, 15 April 2025 | 19:33 WIB Last Updated 2025-04-15T13:13:16Z

ilustrasi


Padang, Rakyatterkini.com — Penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang utama dunia bukan sekadar fenomena ekonomi biasa. Di balik fluktuasi tersebut, terdapat dinamika global yang rumit serta indikasi adanya ketegangan struktural dalam perekonomian nasional.

Dr. Endrizal Ridwan, seorang pakar ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), menyatakan bahwa nilai tukar kini lebih dari sekadar alat transaksi. “Mata uang seperti rupiah saat ini telah berkembang menjadi aset. Bisnis rupiah adalah bisnis kepercayaan, karena pada dasarnya rupiah tidak memiliki nilai intrinsik—semuanya bergantung pada kepercayaan,” ujarnya.

Ketidakpastian global, yang dipicu oleh konflik geopolitik, perang tarif, dan arus modal internasional yang keluar, telah mengganggu stabilitas mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, menurut Dr. Endrizal, faktor internal juga berperan besar. “Masalah fiskal dalam negeri—seperti belanja besar yang tidak diimbangi dengan penerimaan pajak yang memadai dan ketidakjelasan arah politik ekonomi—menambah sentimen negatif terhadap rupiah,” paparnya.

Fenomena arus modal keluar (capital outflow) dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa investor semakin cenderung menjual aset rupiah dan beralih ke instrumen lindung nilai seperti emas atau dolar AS. Tidak hanya investor global, kelas menengah Indonesia pun turut membeli emas sebagai langkah untuk melindungi nilai kekayaan mereka. Menghadapi situasi ini, Dr. Endrizal menegaskan pentingnya stabilitas kebijakan.

“Pemerintah harus menghentikan pemberian sinyal-sinyal yang ambigu kepada publik. Komunikasi kebijakan harus konsisten dan kredibel agar kepercayaan tetap terjaga,” katanya.

Untuk jangka panjang, ia mengingatkan bahwa disiplin fiskal sangat penting, dengan pemerintahan yang efisien, pengurangan ketergantungan pada utang, dan pengoptimalan belanja masyarakat sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

“Dengan demikian, ruang fiskal kita akan lebih berdaulat dan mampu bertahan dari guncangan eksternal,” tambahnya.

Di tengah kebijakan proteksionisme yang muncul akibat tarif yang diterapkan pemerintahan Trump, Indonesia harus tetap waspada. Amerika Serikat adalah pasar ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China. Produk-produk seperti pakaian dan alas kaki, yang banyak diproduksi oleh UMKM, berpotensi terdampak langsung. Namun, alih-alih terpuruk, Indonesia bisa memanfaatkan peluang yang timbul dari perubahan strategi perdagangan AS yang kini lebih mengarah pada hubungan bilateral.

“Inilah saatnya Indonesia untuk menghidupkan kembali kerja sama Asia-Afrika yang dulu digagas pada era Presiden Sukarno,” ujar Dr. Endrizal.

Ia juga mengingatkan pentingnya memperkuat integrasi pasar ASEAN serta melakukan diversifikasi ekspor agar tidak bergantung terlalu banyak pada satu negara tujuan.

Terkait peran Bank Indonesia, Dr. Endrizal mengusulkan pendekatan yang lebih jelas. Menurutnya, karena Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang, intervensi terhadap kurs sebaiknya dibatasi.

“Biarkan pasar menyesuaikan nilai tukar. Fokus Bank Indonesia seharusnya pada kestabilan harga domestik,” ujarnya.

Ia menilai bahwa intervensi terhadap kurs seringkali lebih bernuansa politis daripada ekonomis, terutama dalam menjaga rasio utang luar negeri.

“Lebih baik menggunakan cadangan devisa untuk membayar utang langsung, daripada menopang kurs secara artifisial,” tandasnya.

Reformasi Struktural dan Daya Saing Bangsa

Menghadapi kompetisi global yang semakin ketat, Dr. Endrizal menekankan bahwa daya saing nasional harus berakar pada produktivitas tenaga kerja dan inovasi. Ini hanya bisa dicapai melalui pembukaan kompetisi di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan kesehatan, yang selama ini dikuasai negara.

“Pemerintah sebaiknya mundur dari sektor ekonomi yang bisa dijalankan oleh masyarakat. Fokuslah pada peran-peran inti seperti penegakan hukum dan menciptakan arena yang adil bagi seluruh pelaku ekonomi,” jelasnya.

Menurutnya, semakin kecil peran negara dalam mengelola pendapatan nasional, semakin besar peluang masyarakat untuk menggerakkan ekonomi secara mandiri dan efisien.

Di tengah ketidakpastian global dan kebingungan arah kebijakan, suara kritis seperti yang disampaikan Dr. Endrizal Ridwan menjadi sangat penting. Rupiah bukan hanya alat tukar, tetapi juga cermin dari kepercayaan publik dan internasional terhadap arah bangsa ini.

Jika pemerintah dan otoritas moneter dapat membangun tata kelola yang konsisten, transparan, dan berbasis pada produktivitas, maka Indonesia tidak hanya akan mampu bertahan—tetapi juga tumbuh lebih kuat di tengah dunia yang sedang mencari arah.(da*)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update