![]() |
Bentrok warga dan polisi usai hasil pemilu Venezuela, Senin (29/7/2024) |
Jakarta, Rakyatterkini.com - Venezuela kembali terjerumus dalam babak paling krusial dari krisis ekonomi yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Dalam beberapa minggu terakhir, negara itu mengalami kemerosotan tajam daya beli masyarakat dan menghadapi ancaman resesi yang nyata. Situasi ini mendorong Presiden Nicolás Maduro untuk menetapkan status darurat ekonomi pekan lalu.
Penurunan tajam dalam pendapatan minyak—yang merupakan tulang punggung ekonomi Venezuela—diperparah oleh sanksi ekonomi baru yang dijatuhkan kepada Maduro atas dugaan kecurangan pemilu. Pemerintahannya pun berada dalam posisi sulit karena ruang gerak fiskal yang sangat terbatas, meskipun sebelumnya sempat merasakan sedikit stabilitas pasca pandemi.
Setelah pandemi Covid-19, masyarakat Venezuela mulai beralih ke penggunaan dolar AS untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, meninggalkan bolivar—mata uang nasional yang nilainya telah tergerus drastis. Perubahan ini terjadi setelah pemerintah melonggarkan pengendalian harga barang-barang pokok dan membebaskan penggunaan dolar AS dalam transaksi.
Kebijakan tersebut juga didukung oleh intervensi mingguan dari Bank Sentral Venezuela, yang menyuntikkan jutaan dolar ke pasar valuta asing guna menopang nilai bolivar. Langkah-langkah ini sempat menghentikan hiperinflasi yang pernah melonjak hingga 130.000 persen pada tahun 2018. Bahkan, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), produk domestik bruto (PDB) Venezuela tumbuh 8 persen pada 2022, setelah mengalami kontraksi sekitar 80 persen selama 2014 hingga 2020.
Dolar AS Menjadi Aset Pelindung Nilai
Sama seperti warga di banyak negara Amerika Latin lainnya, masyarakat Venezuela sudah sejak lama menggunakan dolar AS sebagai alat lindung nilai, bahkan sebelum krisis yang meledak pada 2013. Nilai tukar pun menjadi tolok ukur utama kondisi ekonomi.
Mulai tahun 2021, pemerintahan Maduro memanfaatkan cadangan devisa untuk menekan nilai tukar bolivar secara artifisial. Saat itu, kurs resmi berada di angka 3,50 bolivar per dolar AS, dan sekitar 67 persen transaksi ritel menggunakan mata uang asing. Perlahan-lahan nilai tukar naik, dan pada 2023, suntikan dolar dari perusahaan energi Chevron—yang kembali beroperasi setelah mendapat izin dari pemerintah AS—membantu menjaga nilai tukar sekitar 35 bolivar per dolar AS hingga pertengahan 2024.
Namun, kondisi kembali memburuk. Nilai tukar resmi melonjak hingga 70 bolivar per dolar AS bulan ini, sementara di pasar gelap mencapai 100 bolivar per dolar AS pada bulan lalu.
Penerapan Status Darurat dan Dampak Sosial-Ekonomi
Sebelum terjadi kesenjangan besar antara nilai tukar resmi dan pasar gelap, pelaku usaha—baik formal maupun informal—masih menggunakan acuan nilai tukar pemerintah. Namun kini, pelaku di sektor informal, seperti pasar tradisional, lebih memilih kurs pasar gelap, menyebabkan harga-harga melambung dan menjadi tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
Lonjakan harga juga terjadi di toko-toko resmi, seiring dengan penyesuaian biaya pengadaan barang baru. Ekonom Pedro Palma memperkirakan inflasi Venezuela dapat mencapai 180 hingga 200 persen tahun ini. Ia memperingatkan bahwa konsumsi rumah tangga akan menurun drastis karena pendapatan tidak mampu mengikuti inflasi, bahkan berpotensi menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja.
Dalam merespons kondisi tersebut, Presiden Maduro mengumumkan serangkaian kebijakan darurat. Termasuk di antaranya adalah penangguhan sementara pajak serta kebijakan kewajiban pembelian produk dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Ia juga mengaitkan krisis ini dengan dampak global dari tarif yang diberlakukan Amerika Serikat—walau faktanya, krisis telah terjadi jauh sebelum kebijakan tarif diumumkan oleh Donald Trump.
Beberapa minggu sebelumnya, pemerintah juga memangkas jam kerja pegawai negeri, memberikan ruang bagi mereka untuk mencari pekerjaan tambahan. Saat ini, gaji minimum hanya setara dengan sekitar 1,65 dolar AS per bulan, ditambah tunjangan senilai 100 dolar AS. Namun, kesempatan kerja tambahan sangat terbatas, dan sebagian perusahaan kini bahkan kembali membayar dalam mata uang bolivar.
Fenomena ini turut mendorong lonjakan permintaan dolar di pasar gelap, di tengah keterbatasan pasokan dari lembaga penukaran resmi. Krisis yang tak kunjung reda ini menimbulkan keresahan mendalam di tengah masyarakat. Sebuah survei nasional baru-baru ini mengungkapkan bahwa sekitar seperempat warga mempertimbangkan untuk meninggalkan negara mereka karena alasan ekonomi. Namun, gelombang migrasi ini tampaknya tertahan oleh kebijakan keras terhadap imigrasi ilegal yang diberlakukan pemerintahan Trump di AS.(da*)