Notification

×

Iklan

Tarif Royalti Tambang Naik, Pelaku Usaha Khawatir Beban Bertambah

Senin, 17 Maret 2025 | 22:01 WIB Last Updated 2025-03-17T17:01:31Z

ilustrasi


Jakarta, Rakyatterkini.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah melakukan revisi aturan terkait besaran tarif royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor pertambangan mineral dan batu bara. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kontribusi sektor tambang terhadap pendapatan negara.


Namun, para pelaku industri menilai bahwa kenaikan tarif royalti justru akan semakin membebani mereka. Salah satu yang menjadi sorotan adalah tarif royalti untuk bijih nikel, yang dikabarkan akan naik dari 10% menjadi kisaran 14%-19%.


Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan bahwa jika kenaikan ini diterapkan, Indonesia akan memiliki tarif royalti tertinggi di dunia dibandingkan negara-negara lain yang juga menjadi penghasil nikel.


"Saat ini tarif royalti kita 10%, dan rencananya akan naik menjadi 14-19%. Padahal, dibandingkan negara-negara penghasil nikel lainnya, tarif royalti kita sudah termasuk yang tertinggi," ujar Meidy dalam konferensi pers terkait rencana kenaikan tarif royalti pertambangan, Senin (17/3/2025).


Menurutnya, di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara Asia lainnya, tarif royalti nikel umumnya lebih rendah. Beberapa negara bahkan menerapkan sistem royalti berbasis keuntungan, bukan tarif tetap seperti di Indonesia.


"Di beberapa negara, royalti nikel lebih rendah dibandingkan kita. Bahkan ada yang berbasis profit. Kalau di Indonesia naik menjadi 14-19%, benar-benar menunjukkan betapa kaya sumber daya alam kita, tapi apakah industrinya mampu bertahan?" tambahnya.


Meidy juga menyoroti bahwa kenaikan royalti ini berpotensi semakin memberatkan industri tambang yang sudah menghadapi berbagai tantangan, seperti kenaikan harga bahan bakar B40, aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.


"Banyak yang berpikir bahwa kenaikan PPN 12% tidak berdampak pada pertambangan, padahal kenyataannya sangat berpengaruh. Misalnya, biaya sewa alat berat yang tergolong barang mewah juga meningkat, begitu pula harga pembelian alat berat," jelasnya.


Senada dengan APNI, Asosiasi Pertambangan Indonesia juga menganggap bahwa rencana kenaikan royalti ini akan semakin membebani industri.


Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyatakan bahwa kebijakan ini menambah tekanan terhadap industri pertambangan yang sebelumnya sudah dihadapkan pada berbagai regulasi baru.


"Sejak awal tahun, sektor pertambangan sudah menghadapi banyak tantangan. Mulai dari implementasi biodiesel B40, aturan DHE, kenaikan PPN, hingga wacana penerapan Global Minimum Tax. Sekarang muncul lagi isu kenaikan royalti, yang semakin menambah beban bagi pelaku usaha," ujar Hendra.


Selain itu, ia juga menyoroti sektor batu bara yang selama ini terbebani oleh tingginya tarif royalti dan harga jual domestik yang ditetapkan sejak 2018.


Sementara itu, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq, menjelaskan bahwa pemerintah sedang mengevaluasi kebijakan royalti untuk memastikan penerimaan negara lebih optimal dan adil.


"Revisi ini dilakukan agar negara mendapatkan manfaat yang lebih seimbang dari pengelolaan sumber daya alam," kata Julian, dikutip Selasa (11/3/2025).


Julian juga menyebutkan bahwa terdapat enam komoditas tambang yang masuk dalam daftar revisi tarif royalti, yakni batu bara, timah, emas, perak, tembaga, dan nikel.(da*)



IKLAN



×
Berita Terbaru Update