Notification

×

Iklan

Sejarah Gorengan, Dari Mesir Kuno hingga Menu Wajib Ramadan

Senin, 03 Maret 2025 | 02:05 WIB Last Updated 2025-03-02T19:05:00Z

ilustrasi


Jakarta, Rakyatterkini.com - Saat bulan Ramadan, gorengan menjadi salah satu makanan khas yang selalu dinanti. Namun, siapa sangka gorengan memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya menjadi bagian dari budaya kuliner Indonesia?


Dalam dunia kuliner, teknik memasak dengan cara menggoreng tergolong baru dibandingkan metode seperti membakar, memanggang, dan merebus yang telah digunakan sejak zaman purba. Bukti pertama mengenai tradisi menggoreng ditemukan di Mesir. Menurut Blake Lingle dalam Fries! (2016), orang Mesir sudah mengenal teknik menggoreng sejak 2500 Sebelum Masehi. Dari sana, teknik ini menyebar ke Eropa dan Tiongkok.


Christopher Cumo dalam Food that Changed History (2015) mencatat bahwa menggoreng menjadi bagian penting dari budaya kuliner di kedua wilayah tersebut. Berbagai teknik menggoreng pun berkembang, seperti deep frying dan stir frying, yang memberikan cita rasa unik pada makanan.


Penyebaran teknik menggoreng terjadi melalui perpindahan penduduk. Misalnya, masyarakat asli Amerika tidak mengenal teknik ini hingga kedatangan orang Eropa. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, di mana teknik menggoreng mulai populer sejak abad ke-16, ketika para pedagang dan pendatang dari Tiongkok serta Eropa membawa pengaruh budaya mereka.


Seiring waktu, menggoreng menjadi lebih umum berkat dua faktor utama. Pertama, minyak kelapa mulai digunakan sebagai bahan baku utama pada abad ke-19. Kedua, bangsa Eropa, khususnya Belanda, memperkenalkan mentega sebagai bahan alternatif untuk menggoreng. Dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), Fadly Rahman mencatat bahwa pada abad ke-20, mentega menjadi bahan utama untuk menggoreng di Hindia Belanda, dengan merek seperti Blue Band yang mulai populer.


Dari sinilah muncul berbagai jenis gorengan, seperti pisang goreng dan tempe goreng. Namun, pada awalnya, gorengan bukanlah makanan yang bisa dinikmati semua kalangan karena harga minyak kelapa dan mentega masih tergolong mahal.


Perubahan besar terjadi pada era Orde Baru, ketika Presiden Soeharto mendorong pembangunan industri kelapa sawit. Hal ini membuat minyak goreng sawit menjadi lebih mudah didapat dan lebih terjangkau dibandingkan minyak kelapa.


Pada 1970-an, industri minyak goreng dikuasai oleh dua tokoh besar, yakni Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dan Eka Tjipta Widjaja. Eka Tjipta meluncurkan merek minyak goreng seperti Filma dan Kunci Mas, sementara Salim memproduksi Bimoli. Selain itu, Salim juga memperkenalkan merek tepung terigu Bogasari pada tahun 1970, yang membuat tepung lebih mudah diakses oleh masyarakat.


Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), kehadiran tepung Bogasari membuat masyarakat semakin terbiasa mengonsumsi makanan berbasis tepung, termasuk gorengan. Dengan dukungan pemerintah, bisnis Salim dan Eka Tjipta berkembang pesat, menjadikan minyak goreng dan tepung sebagai bagian penting dari industri makanan di Indonesia.


Sejak 1990-an, pola konsumsi masyarakat mulai berubah, dan gorengan menjadi makanan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari pagi hingga malam, gorengan selalu tersedia, baik di warung pinggir jalan maupun di rumah. Pada bulan Ramadan, gorengan semakin dicari sebagai menu berbuka puasa.


Dengan demikian, peran Soeharto, Salim, dan Eka Tjipta secara tidak langsung telah membentuk kebiasaan masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi gorengan. Kini, gorengan tidak hanya menjadi makanan favorit, tetapi juga bagian dari identitas kuliner Indonesia.(da*)



IKLAN



×
Berita Terbaru Update