Notification

×

Iklan

Jerman di Ambang Krisis: Dari Kekuatan Ekonomi ke ‘Orang Sakit Eropa’

Sabtu, 22 Februari 2025 | 09:00 WIB Last Updated 2025-02-22T02:00:00Z



Bendera Jerman di Gedung Reichstag, Berlin, Jerman pada 2 Oktober 2013 


Jakarta – Jerman, yang selama ini dikenal sebagai ekonomi terbesar di Eropa dan peringkat ketiga di dunia, kini menghadapi tantangan besar. Negara ini mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan, membuat Berlin dijuluki sebagai ‘Orang Sakit Eropa’.


Isu ekonomi menjadi salah satu perhatian utama menjelang pemilu yang akan digelar pada hari Minggu mendatang. Dalam beberapa tahun terakhir, Jerman yang sebelumnya menjadi pusat kekuatan ekonomi di Eropa mengalami pertumbuhan yang melambat dibandingkan negara-negara lain di zona euro.


Banyak pihak mempertanyakan model ekonomi Jerman yang selama ini sangat bergantung pada industri dan ekspor dibandingkan ekonomi besar lainnya. Padahal, negara ini pernah menikmati masa keemasan sebelum akhirnya mengalami stagnasi ekonomi.


Kejayaan Ekonomi Jerman

Setelah Perang Dunia II, saat Jerman mengalami kehancuran, Jerman Barat mampu bangkit dengan cepat dalam fenomena yang dikenal sebagai Wirtschaftswunder atau "keajaiban ekonomi".


Pemulihan ini didorong oleh pengenalan mata uang Mark Jerman, penghapusan kontrol harga, serta investasi besar dari rencana Marshall yang diberikan oleh Amerika Serikat untuk membangun kembali ekonomi pascaperang.


Pada 1989, saat Tembok Berlin runtuh, Jerman menjadi ekonomi terbesar ketiga di dunia. Namun, penyatuan kembali Jerman menimbulkan beban ekonomi yang besar. Perlambatan permintaan ekspor menyebabkan meningkatnya angka pengangguran hingga dua digit, dan pada akhir 1990-an, Jerman mulai dianggap sebagai "Orang Sakit Eropa".


Kanselir saat itu, Gerhard Schroeder, menerapkan reformasi ketenagakerjaan ketat antara 2002 hingga 2005. Reformasi ini memperketat aturan tunjangan pengangguran dan memberikan sanksi bagi mereka yang menolak tawaran pekerjaan.


Meskipun kebijakan ini berdampak negatif terhadap standar hidup, para pendukungnya berpendapat bahwa reformasi tersebut berhasil mengurangi angka pengangguran secara signifikan.


Jerman kembali mengalami pertumbuhan ekonomi pesat dengan mempertahankan model industrinya yang kuat, terutama di sektor otomotif dan produk berkualitas tinggi.


Ketergantungan pada Energi Murah

Di bawah kepemimpinan Gerhard Schroeder dan penerusnya, Angela Merkel, Jerman bergantung pada energi murah dari Rusia. Kemitraan ini terus berjalan bahkan setelah Rusia menginvasi Georgia pada 2008 dan mencaplok Krimea pada 2014.


Keputusan Jerman pada 2011 untuk menutup pembangkit listrik tenaga nuklir semakin memperkuat ketergantungan pada energi impor dari Rusia. Hingga setahun sebelum Rusia menginvasi Ukraina, 32% gas, 34% minyak mentah, dan 53% batu bara yang digunakan oleh industri Jerman berasal dari Rusia.


Keunggulan dalam Ekspor

Jerman menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan dari adopsi mata uang euro pada 2002. Dengan berbagi mata uang yang sama dengan negara-negara Eropa lainnya, Jerman mendapatkan keuntungan dalam ekspor karena nilai tukarnya lebih menguntungkan.


Pertumbuhan pesat China setelah bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001 juga meningkatkan permintaan terhadap produk-produk industri Jerman.


Selama hampir dua dekade, model ekspor berbasis manufaktur ini membuat Jerman menjadi pilar utama ekonomi zona euro. Sementara negara-negara Eropa lainnya terdampak oleh krisis keuangan global 2008, Jerman mampu bertahan dengan lebih baik.


Dampak Invasi Rusia ke Ukraina

Namun, model ekonomi Jerman mulai terguncang setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 2022. Ketergantungan Jerman pada energi murah dari Rusia membuat harga energi melonjak tajam.


Selain itu, keputusan untuk menutup pembangkit listrik tenaga nuklir terakhir pada 2023 semakin mempersempit opsi energi yang tersedia bagi industri Jerman.


Melemahnya Hubungan Dagang

Kenaikan harga energi membuat industri Jerman kesulitan bersaing, terutama di sektor yang membutuhkan konsumsi energi tinggi. Pada 2023, produksi di sektor-sektor padat energi turun hingga 20%.


Selain itu, model ekonomi Jerman juga sangat bergantung pada ekspor ke China. Meski sebelumnya mendapat keuntungan dari pertumbuhan China, kini Jerman menghadapi tantangan karena China mulai meningkatkan kualitas produknya dan menjadi pesaing utama dalam industri manufaktur.


Jerman juga memiliki surplus perdagangan yang besar dengan Amerika Serikat, yang mencapai rekor 70 miliar euro pada 2024. Namun, surplus ini bisa terancam jika mantan Presiden AS, Donald Trump, kembali berkuasa dan menerapkan tarif perdagangan yang lebih ketat terhadap Eropa.


Ketertinggalan dalam Inovasi dan Digitalisasi

Saat negara-negara lain, seperti China dan AS, gencar berinvestasi dalam inovasi dan teknologi, Jerman justru tertinggal.


Banyak industri Jerman masih menggunakan teknologi lama. Sebuah survei pada 2024 menunjukkan bahwa 75% perusahaan di Jerman masih menggunakan mesin faks, sementara 25% masih mengandalkannya secara rutin.


Kurangnya investasi dalam digitalisasi juga terlihat dari lambatnya perkembangan infrastruktur internet. Saat ini, Jerman berada di peringkat ke-36 dari 38 negara maju dalam hal koneksi internet cepat, jauh di belakang Korea Selatan dan negara-negara maju lainnya.


Tak hanya dalam bidang teknologi, infrastruktur publik Jerman juga mengalami kemunduran. Sekitar 5.000 dari 40.000 jembatan di sepanjang jalan raya Jerman berada dalam kondisi yang buruk dan membutuhkan perbaikan segera.


Meningkatnya Dukungan untuk Partai Sayap Kanan

Situasi ekonomi yang memburuk telah meningkatkan ketidakpuasan masyarakat. Banyak warga Jerman mulai beralih ke partai-partai populis sebagai bentuk protes terhadap kondisi ekonomi yang stagnan.


Diperkirakan partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) serta partai sayap kiri Buendnis Sahra Wagenknecht (BSW) akan meraih sekitar 25% suara dalam pemilu mendatang.


Harapan untuk Perbaikan

Dua dekade setelah sebelumnya dijuluki sebagai "Orang Sakit Eropa", Jerman kembali menghadapi tantangan serupa.


Meski demikian, negara ini masih memiliki beberapa keunggulan, seperti sektor industri menengah yang kuat (Mittelstand), tingkat ketenagakerjaan yang tinggi, serta keuangan publik yang stabil.


Setelah pemilu, tugas utama pemerintahan yang baru adalah menerapkan reformasi yang diperlukan untuk menghidupkan kembali perekonomian Jerman dan mengakhiri periode stagnasi yang berkepanjangan. (DA)



IKLAN



×
Berita Terbaru Update