
Oleh: Syafrial Suger
Wartawan Rakyatterkini.com
RAKYATTERKINI.COM - Pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak digelar pada 27 November 2024 medatang. Sejumlah bakal calon kepala daerah Kota Pariaman telah mendaftar dan mengembalikan formulir pendaftaran pada partai politik di daerah itu yakni, Hapen Agus Bulyandi, Genius Umar, Buyung Lapau, Yotta Balad dan Mardison Mahyuddin.
Wali Kota Pariaman yang dipimpin Genius Umar dan Wakilnya Mardison Mahyuddin periode 2018 – 2023 memungkinkan pecah kongsi. Itu ditegaskan dengan pernyataan Mardison Mahyuddin untuk maju sebagai wali kota. Artinya, dirinya optimis dalam memperebutkan kursi BA 1 W pada Pilkada di daerah itu.
Pecah kongsi suatu pembuktian nyata bahwa pasangan Pilkada Kota Pariaman bisa berubah. Masih ingat dalam Pilkada Kota Pariaman 9 Oktober 2008, Mukhlis Rahman – Helmi Darlis pecah kongsi, Mukhlis Rahman memilih pasangan baru yaitu Genius Umar. Sedangkan Helmi Darlis berpasangan dengan Mardison Mahyuddin.
Helmi Darlis memberanikan diri berpasangan dengan Mardison Mahyuddin sebagai wali kota dan wakil wali kota. Namun, keberpihakan kemenangan pada Pilkada itu berada di pasangan Mukhlis Rahman sebagai wali kota dan Genius Umar wakilnya.
Mukhlis Rahman sudah dua periode memimpin Kota pariaman, tongkat estafet kepemimpinan diserahkan pada Pilkada 9 Oktober 2018. Pada Pilkada 2018 itu, Genius Umar berpasangan dengan Mardison Mahyuddin. Pasangan ini mampu menyingkirkan lawan politiknya pada saat itu dan dilantik menjadi Wali Kota Genius Umar dan Wakil Wali Kota Mardison Mahyuddin periode 2018 – 2023. Namun, pada Pilkada 2024 kali ini pasangan ini memungkinkan berpisah.
Pecah kongsi mengambarkan ada pertarungan antar elit politik yaitu wali kota dan wakil Wali kota Pariaman berjalan dalam perspektif kepentingan politik yang pragmatis. Perbedaan kepentingan tersebut dapat bersifat personal maupun kelompok.
Oleh karena perbedaan kepentingan tersebut, maka terkadang pecah kongsi menjadi jalan satu-satunya untuk tetap membawa kepentingan mereka masing-masing.
Tentu dalam masalah pecah kongsi akan ada kelompok yang ingin mempertahankan jabatannya dan sebaliknya ingin memeperoleh jabatan tersebut.
Permasalahan ini merupakan gejala yang dialami pada pencalonan kepala daerah ketika berakhir era reformasi tepatnya pasca pelaksanaan otonomi daerah.
Politik dalam makna proses, untuk orang awam lebih tepat untuk diterjemahkan dalam adagium, tidak ada persahabatan yang abadi, yang abadi adalah kepentingannya.
Kerugian yang ditimbulkan akibat pecah kongsi adalah kantong-kantong konstituen ikut-ikutan jadi pecah, dengan kata lain suara mulai lonjong alias sudah tidak bulat lagi.
Kerugian lain cost politik akan lebih besar dikeluarkan karena harus melakukan sosialisasi awal lagi. (*)