Truk sawit antre parkiran gara-gara kebijakan Uni Eropa. | Antara Foto/Syifa Yulinnas |
Kini tengah mendapat sorotan global terkait keberlanjutan produksi minyak sawit. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah keputusan Uni Eropa (UE) dalam menerapkan Undang-undang Antideforestasi (European Union Deforestation Regulation/EUDR).
Dalam forum diskusi kelompok (FGD) yang diselenggarakan oleh Indef, perwakilan dari divisi Amerop Kementerian Luar Negeri Indonesia, Emilia H Elisa, menjelaskan kebijakan EUDR merupakan keputusan internal Uni Eropa yang tidak melibatkan secara formal negara-negara produsen, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, sikap pemerintah Indonesia terhadap kebijakan deforestasi Uni Eropa tersebut adalah "not comply" atau tidak setuju.
Emilia menyatakan pemberlakuan kebijakan EUDR akan berdampak multidimensi, terutama bagi petani kecil yang berada di jalur terisolasi dalam rantai pasok.
Sejalan dengan sikap pemerintah, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), sebagai asosiasi pengusaha minyak sawit, menyatakan sikap yang sejajar dengan pemerintah.
"GAPKI mengikuti posisi pemerintah, kalau pemerintah menolak, GAPKI juga menolak," ungkap Azis Hidayat, Ketua Bidang Perkebunan GAPKI. Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menghormati sikap dan posisi pemerintah, menyatakan keputusan ini menunjukkan sikap tegas pemerintah, mengingat berbagai gagasan atau proposal UE terhadap sawit Indonesia cenderung merugikan.
Tauhid menambahkan kebijakan EUDR dalam jangka panjang akan mempengaruhi produk sawit dari negara lain, sementara dalam jangka pendek, pangsa pasar kelapa sawit Indonesia di Eropa akan berkurang.
Meskipun Indonesia menolak aturan tersebut, pemerintah diharapkan tetap melakukan percepatan untuk mengantisipasi ketentuan EUDR.
Dengan sikap tegas pemerintah, Emilia menekankan pentingnya dukungan dari pimpinan untuk memperkuat kedudukan Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB).
Penguatan kebijakan diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang muncul terkait implementasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
"Penguatan RAN-KSB, termasuk implementasi sistem sertifikasi ISPO, memainkan peran penting dalam upaya pemerintah mempromosikan produksi kelapa sawit berkelanjutan dan memastikan industri ini sejalan dengan standar lingkungan dan sosial," tutur Emilia.
Sementara itu, Tauhid Ahmad menyampaikan selain dukungan kebijakan, metodologi yang digunakan juga harus ditetapkan dengan cepat.
Menurutnya, perlu diputuskan metodologi traceability yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Meski posisi Indonesia menolak EUDR, Tauhid menyarankan agar tetap menyiapkan dan mempercepat perbaikan ISPO.
Direktur Eksekutif Yayasan Ekonomi Inklusif Biru Hijau Indonesia (YEIBHI), Sunny W.H. Reetz, menyampaikan alternatif lain bagi Indonesia terkait hal ini.
Dia menyatakan hilirisasi industri sawit dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mengurangi dampak negatif EUDR.
Terlebih lagi, rencana tersebut sudah mulai dilakukan oleh Bappenas, seperti yang diungkapkan Aldo Manullang, perwakilan Bappenas yang menyatakan bahwa Bappenas berperan dalam menyusun RPJMN dan memasukkan hilirisasi sawit sebagai prioritas. (rel)