![]() |
Kantor Walikota Sawahlunto. |
Sawahlunto, Rakyatterkini.com - Isu mutasi di lingkungan Pemerintah Kota Sawahlunto kian santer terdengar. Di balik kasak-kusuk di lorong kantor, beredar bisik-bisik taja.
'Arok-arok cameh, tagantuang ndak batali'. Artinya, siapa yang bersuara nyaring, belum tentu nasibnya aman. Terutama bagi mereka yang terlibat langsung dalam politik praktis saat Pilkada 2024 lalu.
Fenomena "Asal Bapak Senang" (ABS) tak lagi menjamin kursi aman. Para ASN kini sibuk mencari jalur aman dari cari bekingan, menitipkan nama, hingga (jika masih bisa dimainkan) praktik jual beli jabatan. Tapi semua itu bukan tanpa risiko. Era gratifikasi sudah jadi bidikan serius aparat penegak hukum. Bukan lagi permainan yang bisa ditutup-tutupi.
Mutasi, sejatinya, adalah bagian dari dinamika kepegawaian. Namun realitasnya, selalu berdiri di dua sisi. Sisi ideal berbasis kompetensi dan kinerja, serta sisi gelap titipan dan kepentingan politik. Yang diharapkan tentu The Right Man in The Right Place, tapi yang terjadi malah titipan menjungkalkan profesionalitas.
Fakta di lapangan menunjukkan, politik balas jasa masih jadi tradisi lama yang tak kunjung usang. Mereka yang “berdarah-darah” mendukung pemenangan Pilkada, kini menagih imbalan. Caranya? Titip nama, dorong saudara, kerabat, hingga kroni politik masuk dalam struktur pemerintahan. OPD jadi sasaran, jabatan jadi rebutan. Tak peduli kualitas atau kapasitas.
Yang lebih miris, muncul istilah “Walikota Malam”, pihak ketiga yang mengatur ritme jual beli jabatan. Mulusnya jabatan, tergantung tebalnya tas yang dibawa. “Ada uang, ada jabatan. Ada tas, tak perlu kualitas.” Praktik ini memang tak kasat mata, tapi bukan lagi rahasia umum.
Biaya politik yang tinggi jadi alasan klasik. Untuk menutup modal Pilkada yang besar, jabatan dijadikan komoditas. Transaksi dilakukan sembunyi-sembunyi, tapi dampaknya sangat nyata, birokrasi yang korup, sistem pemerintahan yang pincang, dan kepercayaan publik yang tergerus.
Kini publik menanti, akankah mutasi kali ini mengedepankan profesionalitas dan integritas? Atau kembali jadi panggung balas budi dan transaksi gelap? Yang pasti, masyarakat Sawahlunto tak butuh ABS, tak butuh titipan, tapi butuh aparatur yang memang layak dan bekerja untuk rakyat. (Benny)