Notification

×

Iklan

Harga Minyak Dunia Melonjak Usai Serangan AS ke Iran

Selasa, 24 Juni 2025 | 09:44 WIB Last Updated 2025-06-24T02:44:00Z

Harga Minyak Dunia Melonjak Imbas AS Serang Iran 


Jakarta, Rakyatterkini.com – Harga minyak global melonjak tajam menyusul serangan militer yang dilancarkan Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir utama milik Iran pada Sabtu, 21 Juni 2025. Ketegangan geopolitik ini memicu kekhawatiran luas terkait potensi terganggunya pasokan minyak dunia, dengan proyeksi harga minyak mentah jenis Brent dapat menembus angka 130 dolar AS per barel atau setara Rp2,1 juta (mengacu pada kurs saat ini).

Kenaikan harga ini tak lepas dari peran Iran sebagai produsen minyak mentah terbesar ketiga di antara negara anggota OPEC. Situasi di kawasan Timur Tengah yang strategis membuat pasar energi global sangat rentan terhadap gangguan suplai.

Eskalasi Konflik Iran-AS Picu Gejolak Pasar Energi

Serangan AS yang menargetkan fasilitas nuklir di Fordow, Natanz, dan Esfahan memperburuk ketegangan yang telah meningkat sejak konflik Iran-Israel pecah pada 13 Juni 2025. Analis dari berbagai lembaga keuangan terkemuka seperti Citigroup, Goldman Sachs, dan JP Morgan memprediksi harga minyak Brent bisa melesat ke kisaran 75–78 dolar AS per barel jika ekspor Iran turun sebesar 1,1 juta barel per hari.

Namun, skenario yang lebih mengkhawatirkan muncul jika Iran memutuskan menutup Selat Hormuz—jalur pengiriman strategis yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak mentah global. Dalam kondisi ini, harga minyak dunia diperkirakan bisa melonjak drastis hingga mencapai 120–130 dolar AS per barel.

Jorge Leon, Kepala Analis Geopolitik di Rystad Energy, mengungkapkan bahwa lonjakan harga minyak kemungkinan tetap terjadi meskipun Iran tidak segera melakukan aksi balasan. Menurutnya, ketidakpastian geopolitik di kawasan tersebut sudah cukup untuk menciptakan gejolak di pasar energi global.

Efek Domino ke Inflasi dan Ekonomi Global

Kenaikan harga minyak tidak hanya berdampak pada sektor energi, namun juga menyentuh berbagai aspek ekonomi global. Biaya produksi dan distribusi yang meningkat akibat mahalnya harga energi dapat memicu inflasi yang meluas. Kondisi ini membuat investor semakin berhati-hati dan menyebabkan volatilitas di pasar keuangan.

Sejak pecahnya konflik Iran-Israel, harga minyak Brent tercatat telah naik sekitar 13%, sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik 10%. Bahkan setelah serangan terbaru AS, Brent sempat menyentuh harga tertinggi dalam lima bulan terakhir, hampir mencapai 80 dolar AS per barel.

Goldman Sachs memperingatkan bahwa jika pasokan minyak melalui Selat Hormuz benar-benar terhenti, harga Brent bisa melonjak hingga 110 dolar AS per barel, semakin menambah tekanan terhadap inflasi global. Dalam simulasi skenario terburuk yang dilakukan Oxford Economics sebelum AS turut campur langsung, harga minyak bisa mencapai 130 dolar AS per barel, dan inflasi di AS diprediksi akan menembus 6% pada akhir 2025.

Selat Hormuz: Titik Kritis Pasar Minyak Dunia

Penutupan Selat Hormuz dianggap sebagai ancaman paling serius terhadap stabilitas pasokan energi global. Jalur pelayaran ini merupakan rute vital ekspor minyak mentah dunia, sehingga apabila ditutup, pasar minyak bisa mengalami kekacauan besar. Negara-negara pengimpor, termasuk Indonesia, akan terkena dampak langsung dari gejolak tersebut.

Implikasi bagi Indonesia

1. Harga BBM Berpotensi Naik
Sebagai negara yang masih mengimpor sebagian besar kebutuhan minyaknya, Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak mentah bisa mendorong naiknya harga BBM dalam negeri, yang pada gilirannya akan berdampak pada ongkos transportasi dan distribusi.

2. Inflasi Semakin Menekan
Harga BBM yang lebih mahal dapat memicu kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, mengingat sebagian besar sektor produksi dan distribusi sangat bergantung pada energi. Ini berpotensi mendorong lonjakan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.

3. Biaya Hidup Naik
Pengeluaran rumah tangga akan ikut terdongkrak, terutama untuk kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan listrik. Situasi ini mendorong masyarakat untuk menyesuaikan pengeluaran dan gaya hidup secara lebih ketat.

4. Beban Sektor Usaha Bertambah
Kenaikan harga energi juga akan memperberat beban pelaku usaha, khususnya di sektor industri dan logistik. Biaya produksi yang meningkat bisa mendorong kenaikan harga barang atau bahkan pemangkasan tenaga kerja guna menekan biaya operasional.

Lonjakan harga minyak dunia yang dipicu oleh serangan militer AS ke fasilitas nuklir Iran mengindikasikan betapa rentannya pasar energi terhadap konflik geopolitik. Potensi pembalasan dari Iran, terutama ancaman penutupan Selat Hormuz, menambah kekhawatiran akan terganggunya suplai global yang bisa berujung pada inflasi tinggi dan perlambatan ekonomi secara luas. Bagi Indonesia, penting untuk segera merumuskan langkah mitigasi guna mengurangi dampak terhadap ekonomi nasional dan daya beli masyarakat.(da*)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update