Jakarta, Rakyatterkini.com – Perbedaan data kemiskinan antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) memicu perhatian publik. Laporan terbaru Bank Dunia per Juni 2025 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194,6 juta jiwa, berdasarkan metode perhitungan terbaru mereka. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding data resmi BPS yang dirilis pada September 2024, yaitu sebesar 8,57% dari total penduduk atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Menanggapi perbedaan ini, Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) menjelaskan bahwa metodologi yang digunakan kedua lembaga memang berbeda, sehingga menghasilkan angka yang tidak sebanding secara langsung.
Juru Bicara PCO, Dedek Prayudi, menjelaskan bahwa BPS mengacu pada dua komponen dalam mengukur tingkat kemiskinan nasional. Pertama, garis kemiskinan makanan, yang menetapkan bahwa seseorang dikategorikan miskin bila tidak mampu mengkonsumsi minimal 2.100 kalori per hari.
"Jika kebutuhan kalori harian tersebut tidak terpenuhi, maka individu tersebut masuk kategori miskin," ungkap Dedek melalui unggahan video di akun Instagram resmi PCO, Minggu (15/6/2025).
Komponen kedua adalah garis kemiskinan non-makanan, yang mencakup akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, serta kelayakan tempat tinggal. Kedua komponen ini kemudian digabung dan dikonversi ke dalam bentuk nominal berdasarkan harga di Indonesia.
"Dari kombinasi tersebut, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional. Siapa pun yang pengeluarannya berada di bawah garis itu, dikategorikan sebagai miskin. Dari sini muncul angka sekitar 8% tadi," jelas Dedek.
Ia juga menegaskan bahwa data BPS dirancang sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerintah, bukan untuk perbandingan internasional. Di sisi lain, data Bank Dunia bertujuan untuk melakukan pemeringkatan global dan mengukur kemiskinan ekstrem secara internasional.
Dedek mengutip pernyataan dalam laporan resmi Bank Dunia yang mengakui bahwa garis kemiskinan nasional suatu negara sebenarnya lebih relevan dalam menyusun kebijakan domestik dan menargetkan bantuan kepada kelompok masyarakat paling rentan.
"Bank Dunia pun menyadari bahwa garis kemiskinan tiap negara lebih akurat untuk menggambarkan kondisi nyata di lapangan," tegas Dedek.
Menurutnya, pendekatan Bank Dunia menggunakan satu garis kemiskinan yang seragam untuk negara-negara dalam kelompok yang sama. Hal ini menyebabkan kurangnya sensitivitas terhadap perbedaan harga dan kondisi lokal, seperti inflasi atau tantangan geografis masing-masing negara.
"Karena itu, data Bank Dunia tidak bisa sepenuhnya menggambarkan karakteristik kemiskinan di Indonesia. Ini menjadi salah satu keterbatasan pendekatan mereka," pungkas Dedek.(da*)