Notification

×

Iklan

Jawa Barat Tertekan Dampak Tarif AS pada Industri Ekspor

Rabu, 21 Mei 2025 | 12:01 WIB Last Updated 2025-05-21T05:01:00Z

Diskusi publik bertajuk Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia 


Jakarta, Rakyatterkini.com – Ketidakstabilan ekonomi global kembali menimbulkan tekanan bagi sektor industri ekspor Indonesia. Jawa Barat, sebagai pusat utama manufaktur dan ekspor nasional, menjadi salah satu provinsi yang paling merasakan dampaknya.

Dalam forum diskusi publik bertajuk *"Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi"* yang digelar oleh Suara.com bersama CORE Indonesia di El Hotel Bandung pada Selasa (20/5), sejumlah ekonom, pelaku industri, hingga pemangku kebijakan berdiskusi mengenai berbagai tantangan dan peluang yang muncul, serta menekankan perlunya solusi konkret baik di tingkat lokal maupun nasional.

Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, menyampaikan bahwa tekanan ekonomi telah terasa sejak awal tahun.

“Kita tengah menghadapi perlambatan ekonomi yang nyata. Bandung dipilih sebagai lokasi diskusi karena kota ini merupakan salah satu pusat ekspor nasional, mulai dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—semuanya sedang menghadapi tekanan berat. Ini saat yang tepat untuk menjadikan inisiatif daerah sebagai rujukan dalam perumusan kebijakan nasional,” ujarnya dalam sambutan pembuka.

Mengacu pada data BPS, ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat pada Januari 2025 tercatat sebesar USD 499,53 juta atau setara 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi tersebut. Sementara itu, ekspor dari Bandung ke AS pada Maret 2025 mencapai USD 7,7 juta.

Namun, di balik angka-angka tersebut, industri di Bandung—terutama sektor tekstil dan produk tekstil (TPT)—dihadapkan pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat menurunnya permintaan dan ketatnya persaingan dengan produk impor. Penerapan kebijakan tarif baru oleh AS dinilai dapat semakin menekan permintaan ekspor, sementara produk impor membanjiri pasar domestik, menjadikan industri lokal tertekan dari dua sisi.

Dalam diskusi tersebut, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., menyoroti dampak perang dagang AS-Tiongkok terhadap Indonesia. Ia memaparkan bahwa ekspor Tiongkok ke AS menurun 10,5% pada 2025, sementara ekspor ke kawasan ASEAN meningkat 19,1%.

CORE mencatat potensi impor ilegal dari Tiongkok mencapai USD 4,1 miliar, yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 65,4 triliun. Situasi ini diperburuk oleh perlambatan ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar Rupiah.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Prof. Rina Indiastuti, menguraikan dampak kebijakan tarif AS terhadap industri di Jawa Barat, khususnya sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Ia menyebut banyak perusahaan yang kini mengalami kerugian, bahkan hingga harus gulung tikar dan merumahkan pekerjanya.

Ketua APINDO Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, turut menyuarakan keresahan dunia usaha. Ia mengatakan bahwa pelaku usaha kini menghadapi berbagai tekanan mulai dari dampak perang dagang, ketidakpastian regulasi dan hukum, membanjirnya produk impor legal maupun ilegal, hingga regulasi yang tumpang tindih.

“Proses perizinan usaha pun kerap tidak transparan. Janji penyelesaian dalam dua minggu seringkali berubah menjadi berbulan-bulan karena prosedur yang berbelit,” jelas Ning.

Ia juga menyoroti isu ketenagakerjaan yang kerap dipolitisasi, aksi unjuk rasa berkepanjangan, serta regulasi pengupahan yang tidak stabil. Selain itu, biaya logistik tinggi akibat pungutan liar dan praktik premanisme juga membuat industri semakin tidak kompetitif.

“Kami butuh perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Jangan sampai pelaku usaha dalam negeri terus menjadi korban eksperimen kebijakan yang tidak konsisten,” tegasnya.

Meski tantangan begitu berat, Prof. Rina tetap melihat adanya peluang melalui pergeseran rantai pasok global, termasuk rencana relokasi industri otomotif ke Jawa Barat. Menurutnya, kekuatan manufaktur di provinsi ini—meliputi otomotif, elektronik, tekstil, plastik, mineral non-logam, agro-pangan, dan farmasi—menjadi modal penting dalam mendorong inovasi daerah, terlebih dengan dukungan lembaga riset dan universitas.

Menanggapi tantangan tersebut, Faisal menekankan pentingnya pengendalian arus impor dan peningkatan kandungan lokal dalam produk domestik. Ia menjelaskan bahwa pengendalian impor bukan bertujuan untuk proteksionisme semata, tetapi sebagai upaya menjaga kedaulatan pasar domestik dengan memastikan produk impor memenuhi standar nasional.

Beberapa sektor seperti kosmetik, baja, dan semen telah menunjukkan hasil positif berkat penerapan verifikasi impor. Sementara itu, strategi peningkatan komponen lokal terbukti berhasil di industri elektronik, dengan produksi handphone, komputer, dan tablet melonjak dari 0,1 juta unit (2013) menjadi 88,8 juta unit (2019), sedangkan volume impor turun signifikan dari 62 juta menjadi 4,2 juta unit.

Faisal menekankan pentingnya penerapan skema TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk mendorong investasi serta memperkuat struktur industri nasional.

“Di tengah ketidakpastian global, memperkuat perekonomian domestik bukan lagi sekadar pilihan, tetapi menjadi kebutuhan mendesak,” pungkasnya.(da*)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update