Notification

×

Iklan

Mengenal Sejarah Ponpes Al-Manaar dan Wisata Religi di Batuhampar

Rabu, 18 Januari 2023 | 16:22 WIB Last Updated 2023-01-18T09:22:08Z

Pondok Pesantren al-Manaar, Nagari Batuhampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota. 

RAKYATTERKINI.COM - Pendidikan sudah berlangsung sepanjang sejarah manusia hidup di muka bumi, dan mengalami berbagai perkembangan serta perubahan di dalamnya. 

Pendidikan Islam yang diperoleh masyarakat Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim dari Arab, Persia, dan juga India sekitar abad ke-7. 

Proses Islamisasi berlangsung melalui perdagangan, perkawinan, tasawuf, politik, seni dan budaya. Penyebaran Islam melalui jalur pendidikan berlangsung sebagai proses pembelajaran yang terstruktur. 

Dalam perkembangannya pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia telah berlangsung dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam secara formal umumnya berlangsung di pondok pesantren, madrasah maupun sekolah umum.  

Pesantren sebagai salah satu bentuk pendidikan Islam yang sangat kental dengan muatan ajaran agama Islam sebetulnya telah ada sejak zaman dulu sekitar abad 16 dan masih  ada hingga masa sekarang. 

Awalnya pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang sederhana dan menerapkan sistem pendidikan tradisional bernama halaqah, yakni proses pembelajaran dengan posisi para murid (santri/orang siak) duduk mengelilingi guru (syekh/ustad) untuk mengaji Alquran dan kitab kuning. 

Konten utama yang diajarkan kepada murid/santri tidak terlepas dari Alquran dan Hadist yang menekankan nilai-nilai kehidupan yang berpedoman pada ajaran islam. 

Demi menjaga eksistensi, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang telah lama ada perlahan bertransformasi menyesuaikan diri dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman. 

Pesantren turut melakukan berbagai inovasi dan perbaikan kurikulum, proses pembelajaran, tenaga pengajar dan lain sebagainya.

Salah satu pondok pesantren tertua di Sumatra Barat yang sudah ada sejak abad ke-18 dan masih eksis hingga hari ini yaitu Pondok Pesantren al-Manaar, di Nagari Batuhampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota. 

Awalnya pondok pesantren ini bermula dari sebuah surau kecil yang didirikan oleh Syekh Abdurrahman pada 1824. Beliau menerapkan sistem pendidikan halaqah dalam mengajarkan qira’at Alquran. 

Syekh Abdurrahman adalah tokoh ulama besar yang terkemuka dibidang Tasawwuf dan juga seorang pengamal Tarikat Naqsyabandiyah di Batuhampar. Karena kepemimpinannya yang terkemuka ke penjuru negeri, banyak orang siak (santri/murid) datang ke Batuhampar untuk belajar padanya. 

Ada yang dari Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, dan juga Sumatera di bagian Selatan datang ke Batuhampar untuk belajar Alquran.  

Dengan banyaknya murid yang datang, Syekh Abdurrahman memiliki ide untuk membangun surau gadang yang ia kelola menjadi sebuah kompleks bernama ‘Kampung Dagang’. 

Selama masa kepemimpinannya Syekh Abdurrahman telah mendidik ribuan orang siak yang diantaranya berhasil menjadi ulama di berbagai daerah. 

Setelah Syekh Abdurrahman wafat pada usia ke 122 tahun. Usia ini sungguh sangat langka ditemukan pada manusia zaman sekarang. Umur yang panjang ini menjadi berkah tersendiri baginya untuk mendidik lebih banyak orang siak semasa hidupnya. 

Sepeninggal Syekh Abdurrahman, kepemimpinan taman pendidikan Alquran di kompleks Kampung Dagang dilanjutkan oleh keturunannya, anak-anak dan cucunya. 

Penerus pertama ialah Syekh Muhammad Arsyad. Ia memimpin surau gadang warisan ayahnya sejak 1899 hingga 1924. Selama dua puluh lima tahun di tangan dinginnya taman perguruan Alquran Surau Gadang mengalami perkembangan pesat, ditandai dengan sangat banyaknya orang siak yang datang belajar ke surau Batuhampar. 

Periode selanjutnya tampuk kepemimpinan surau Batuhampar diteruskan oleh cucu Syekh Abdurrahman (anak Syekh Muhammad Asyad), yakni Syekh Muhammad Arifin Arsyadi dari 1924 hingga 1938. 

Pada masanya taman perguruan Alquran Batuhampar juga banyak didatangi oleh orang-orang siak dan mulai dilakukan pembaharuan dengan memberikan pelajaran umum kepada murid-muridnya semenjak tahun 1931. 

Periode 1938-1949 kepemimpinan Taman Perguruan Alquran di Nagari Batuhampar dilanjutkan oleh Syekh Ahmad. 

Sepeninggalan beliau dilanjutkan oleh Syekh Darwisy Arsyadi (adik dari Syekh Arifin) dari 1952 hingga 1964. Kemudian dilanjutkan oleh Syekh Damrah Arsyadi dari tahun 1964 sampai 1992. 

Pada masanya dilakukan reformasi kelembagaan dengan mendirikan pondok pesantren Al-Manaar pada 10 Juli 1943. Ia tidak banyak melakukan perubahan pada lembaga yang diasuhnya. 

Namun kiprah dan dedikasinya berandil besar dalam pembangunan ponpes Al-Manaar yang memiliki arti menara atau mercusuar.  

Syekh Dhamrah Arsyadi memimpin ponpes Al-Manaar selama 28 tahun. Beliau wafat 1992. Kepemimpinan ponpes Al-Manaar dilanjutkan oleh buya H. Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno. 

Beliau memimpin ponpes Al-Manaar sejak 1992 hingga 2021. Kiprahnya terkenal dalam memimpin suluk di surau Batuhampar. Kepemimpinan ponpes Al-Manaar saat ini dipegang oleh H. Mazmur Sya’roni semenjak 2021 hingga kini (2023).

Demi mempertahankan eksistensi ponpes Al-Manaar, pemimpin ponpes tetap terus berupaya mempertahankan kualitas pengajaran dan fasilitas belajar. 

Ini dapat dilihat dari banyaknya murid yang belajar di ponpes Al-Manaar dan guru yang mengajar. Selain hal tersebut, fasilitas ponpes Al-Manaar tergolong lengkap mulai dari gedung sekolah berlantai dua, asrama, ruang belajar beserta isinya, fasilitas olahraga dan lainnya. 

Hingga hari ini ponpes Al-Manaar tetap menampung banyak murid dari berbagai daerah.

Di lain sisi cara melestarikan dan mempertahankan eksistensi ponpes Al-Manaar, salah satunya melalui aspek pariwisata religus. 

Potensi wisata religius di kompleks surau dan ponpes Al-Manaar Batuhampar sebenarnya sudah ada sejak dulu dilihat dari kemegahan bangunan menara dan gobah meski pun usianya sudah tua. 

Potensi wisata religius lainnya yang bisa diangkat adalah kegiatan ziarah kubur ke makam para Syekh pemimpin Pondok Pesantren terdahulu. Banyak pendatang dari jauh berkunjung ke Batuhampar untuk berziarah ke makam. 

Jumlahnya pun tak tangung-tanggung dalam hitungan ribuan peziarah dan biasanya mereka datang saat moment puasa, lebaran, ataupun hari-hari besar Islam lainya. 

Banyaknya para peziarah yang datang sampai memenuhi jalan raya hanya untuk melakukan ziarah ke makam. Dengan demikian wisata religius tentu menjadi salah satu potensi yang besar untuk mempertahankan tradisi keislaman agar tidak lekang waktu. (*)

Penulis:
Anes Wari
Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNP

Dr. Aisiah, M. Pd
Dosen Prodi Pendidikan Sejarah UNP


IKLAN



×
Berita Terbaru Update