Notification

×

Iklan

Kontroversi TWA Megamendung: Antara Rencana Hutan Lindung dan Penolakan Masyarakat Adat

Jumat, 04 Juli 2025 | 17:02 WIB Last Updated 2025-07-04T10:02:02Z

Tempat pemandian TWA Megamendung

Tanah Datar, Rakyatterkini.com – Pernyataan Menteri Kehutanan RI terkait status Taman Wisata Alam (TWA) Megamendung, Tanah Datar, kembali mengusik ruang tenang di tengah masyarakat adat dan pemerhati lingkungan. 

Dalam keterangan resminya, Menteri menyebut bahwa saat ini TWA Megamendung belum termasuk dalam kawasan hutan lindung, namun Kementerian Kehutanan berencana memasukkannya sebagai kawasan hutan lindung di masa mendatang.

Pernyataan tersebut sontak memicu respons keras dari niniak mamak dan komunitas lokal di sekitar kawasan Megamendung. Mereka menolak rencana perubahan status tersebut, dengan alasan yang tidak sekadar emosional, melainkan bersandar pada sejarah, sosial-budaya, dan ekonomi masyarakat setempat.

Niniak mamak dan masyarakat adat menyayangkan langkah sepihak pemerintah pusat yang terkesan tidak melalui proses konsultasi yang bermakna. Megamendung bukan hanya hamparan hijau yang bisa ditetapkan statusnya dari balik meja kantor Jakarta, melainkan ruang hidup, bagian dari identitas adat, dan sekaligus tumpuan penghidupan masyarakat sekitar.

"Sejak dahulu kala, kawasan ini dikelola dengan kearifan lokal. Kami punya sistem sendiri untuk menjaga kelestarian alam, jauh sebelum istilah 'konservasi' atau 'hutan lindung' dipopulerkan," ungkap salah seorang ninik mamak yang minta namanya tidak disebutkan kepada awak media.

Penolakan ini bukan tanpa dasar, masyarakat khawatir bahwa penetapan status hutan lindung akan membatasi akses mereka terhadap lahan pertanian, sumber air, dan hasil hutan non-kayu, yang selama ini menjadi penopang ekonomi keluarga. 

Selain itu, hak ulayat yang telah diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam konstitusi, dikhawatirkan akan tergerus oleh regulasi teknokratis dari pusat.

Rencana pemerintah menjadikan TWA Megamendung sebagai kawasan hutan lindung tentu patut dikritisi secara serius. Di satu sisi, pelestarian lingkungan adalah keniscayaan dalam menghadapi krisis iklim. Namun di sisi lain, konservasi tidak boleh menjadi kedok untuk meminggirkan hak-hak masyarakat adat.

Sayangnya, model pembangunan berbasis “atas ke bawah” yang masih mendominasi di sektor kehutanan seringkali mengabaikan konteks lokal dan suara masyarakat terdampak. Bahkan, sejarah mencatat banyak kasus di mana penetapan hutan lindung justru menjadi awal dari konflik tenurial berkepanjangan antara negara dan warga lokal.

Apakah Kemenhut siap menjamin tidak akan terjadi penggusuran halus atau pembatasan aktivitas yang berdampak pada keberlanjutan hidup masyarakat Megamendung?

Pemerintah pusat mestinya belajar dari pengalaman serupa di berbagai daerah. Solusi yang inklusif dan berkelanjutan tidak lahir dari pemaksaan status, tapi dari dialog sejajar yang menghargai nilai-nilai lokal dan hak masyarakat adat. Konservasi sejati adalah kolaborasi, bukan dominasi.

Jika Kemenhut benar-benar peduli pada kelestarian alam Megamendung, mestinya pendekatannya adalah dengan memperkuat peran masyarakat sebagai penjaga alam, bukan menempatkan mereka sebagai penghalang pembangunan.

Sebab pada akhirnya, yang hidup di tengah hutan itu bukan regulasi, tapi manusia—dan merekalah yang tahu cara merawatnya, jauh sebelum negara hadir dengan segala perangkat birokrasi dan zonasi.

Sebelumnya Kepala BKSDA Sumbar, Hartono mengungkapkan, ketika tempat wisata pemandian dibuka masyarakat di kawasan TWA Megamendung tidak berkoordinasi dengan BKSDA atau Kemenhut. (ris1)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update