Jakarta, Rakyatterkini.com – Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh, menegaskan bahwa meskipun Amerika Serikat merupakan pasar ekspor utama bagi Vietnam, negara tersebut tidak boleh bergantung pada satu pasar saja. Ia pun mendorong para pelaku usaha untuk menjajaki peluang dari negara-negara lain dalam merespons kebijakan tarif impor dari AS.
Menanggapi kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap Vietnam dan negara mitra dagang lainnya, Chinh mengimbau agar ekspor Vietnam segera direstrukturisasi agar lebih bervariasi dan tidak terpaku pada satu negara tujuan.
“Kita perlu mengatur ulang arah ekspor dan meningkatkan kualitas produk agar mampu menembus pasar potensial lainnya seperti Timur Tengah, Eropa Timur, Asia Tengah, Amerika Latin, India, dan negara-negara ASEAN,” ujar Chinh dalam rapat kabinet, Minggu (6/4/2025), dikutip dari VN Express, Senin (7/4/2025).
Ia juga menyatakan bahwa ini merupakan momen penting untuk mempercepat transformasi ekonomi ke arah yang lebih tangguh dan berkelanjutan, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, inovasi, dan ilmu pengetahuan. Chinh menekankan komitmen Vietnam untuk memperluas diversifikasi produk, pasar, dan rantai pasokan melalui kolaborasi global, sembari memperkuat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Amerika Serikat sebagai bagian dari jaringan perjanjian perdagangan bebas internasional.
Diketahui, Vietnam akan dikenakan tarif balasan tertinggi dari AS, sebesar 46 persen, yang mulai berlaku pada 9 April 2025. Menteri Keuangan Vietnam, Nguyen Van Thang, mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa menimbulkan tantangan serius bagi perekonomian nasional, mengingat faktor-faktor pendukung pertumbuhan mulai melemah dan risiko terhadap stabilitas makroekonomi meningkat.
Ia menuturkan bahwa hambatan ekspor ke pasar AS akan memberikan efek domino pada sektor manufaktur, minat investor asing, konsumsi domestik, hingga penciptaan lapangan kerja. “Tekanan ini sangat besar dan bisa menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah Vietnam tetap mempertahankan target pertumbuhan ekonomi sebesar minimal 8 persen pada tahun 2025, meskipun menghadapi tekanan dari tarif dan persaingan dagang. Untuk mencapai target tersebut, menurut Kementerian Keuangan, produk domestik bruto (PDB) Vietnam harus tumbuh 8,3 persen pada sembilan bulan berikutnya, menyusul pertumbuhan 6,9 persen pada kuartal pertama tahun ini.
Kementerian itu juga menyerukan peningkatan diplomasi ekonomi dengan AS guna menegosiasikan tarif yang lebih adil, serta mendorong iklim usaha yang lebih baik melalui reformasi kebijakan, peningkatan investasi publik dan asing, serta penguatan pasar domestik.
Chinh menilai bahwa kebijakan tarif dan ketegangan perdagangan global bisa mengganggu stabilitas rantai pasokan dan perdagangan internasional. Ia juga menyoroti bahwa sentimen pasar dan pertumbuhan ekonomi global dapat terdampak secara negatif.
"Sejak awal tahun, Vietnam telah mengambil berbagai langkah untuk menanggapi dinamika global ini," ujarnya. Ia menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 6,93 persen pada kuartal pertama 2025, yang merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir, merupakan pertanda positif di tengah situasi ekonomi regional dan global yang menantang.
Namun demikian, Chinh mengakui bahwa tantangan masih banyak, seperti fluktuasi nilai tukar dan suku bunga, lambatnya pemulihan daya beli, serta masalah dalam sektor pertanahan dan properti. Ia meminta seluruh jajaran pemerintah untuk segera merumuskan solusi konkret guna mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen atau lebih, memperbaiki regulasi, menyederhanakan birokrasi, memperkuat investasi publik, dan mendorong sektor-sektor produktif.(da*)