Notification

×

Iklan

PSU Pasaman: Tantangan Legitimasi dan Kepercayaan Publik

Minggu, 20 April 2025 | 02:00 WIB Last Updated 2025-04-19T19:00:00Z

Ilustrasi


Padang, Rakyatterkini.com — Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang dilaksanakan pada Sabtu, 19 April 2025 di seluruh wilayah Kabupaten Pasaman bukan sekadar kelanjutan dari proses elektoral, melainkan menjadi panggung penting bagi refleksi demokrasi lokal.

Dua pakar politik dari Universitas Andalas, Prof. Dr. Asrinaldi dan Dr. Aidinil Zetra, menilai PSU ini sebagai momentum krusial yang mempertemukan kepastian hukum, kepercayaan publik, dan harapan terhadap masa depan demokrasi di tingkat daerah.

“Legitimasi PSU ini sudah tak dapat diganggu gugat karena mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat,” ujar Prof. Asrinaldi.

Namun, Dr. Aidinil Zetra menggarisbawahi aspek sosial dalam proses tersebut. “Secara yuridis memang sah, tetapi di tingkat sosial, legitimasi baru hadir jika ada transparansi dan partisipasi masyarakat. Itu kuncinya,” jelasnya.

Keduanya sepakat bahwa tantangan utama PSU bukan lagi legalitas, melainkan bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sempat merosot akibat disinformasi, apatisme, dan kelelahan politik.

“Bagi warga, Pilkada 27 November lalu sudah menjadi momen emosional. PSU bisa dirasa sebagai pengulangan yang melelahkan,” tutur Asrinaldi.

Aidinil menambahkan, “PSU sering dilihat sebagai urusan elit semata. Maka pendekatannya harus berbasis partisipasi akar rumput, menyentuh kehidupan nyata warga, dan membangkitkan kembali keterlibatan mereka.”

Mengenai netralitas penyelenggara, Asrinaldi menilai bahwa perangkat pengawasan telah tersedia dan tinggal diimplementasikan secara tegas. Sementara Aidinil menekankan perlunya penguatan pada tiga aspek: kelembagaan, budaya politik, dan teknis pelaksanaan.

“Netralitas harus dimaknai sebagai amanah moral, bukan semata kewajiban administratif,” tandasnya.

Isu politik uang juga menjadi sorotan keduanya. Mereka sepakat bahwa praktik ini telah mengakar bahkan hingga tingkat pemilihan lokal seperti wali nagari atau pemimpin partai.

“Tradisi ini keliru tapi terus dibiarkan. Penegakan hukum yang konsisten dan sanksi yang tegas merupakan langkah yang tak bisa ditawar,” ujar Asrinaldi.

Aidinil menegaskan perlunya peran aktif tokoh adat dan pemuda sebagai penjaga moral demokrasi. “Rakyat harus diberdayakan, bukan dibeli,” katanya.

Dalam konteks sosial Pasaman yang berbasis sistem nagari dan memiliki keragaman etnis serta kecenderungan polarisasi wilayah utara-selatan, kedua akademisi ini menilai bahwa tokoh adat dan agama memegang pengaruh besar.

“Seruan tokoh adat sering kali lebih diikuti dibandingkan kampanye formal,” ungkap Asrinaldi.

Aidinil pun mendorong pendekatan nilai-nilai lokal, seperti semangat ‘kok malu dek kampuang’, sebagai dasar penguatan netralitas dan partisipasi masyarakat.

Di era digital, disinformasi menjadi tantangan baru yang serius. Asrinaldi mengungkapkan kekhawatirannya atas maraknya hoaks yang menyebutkan hasil PSU seolah sudah bisa dipastikan.

Sementara itu, Aidinil menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk lebih aktif dalam membangun komunikasi publik yang kontekstual dan kreatif.

“Gunakan simbol dan humor lokal, bangun jejaring influencer berbasis komunitas untuk menyampaikan pesan demokrasi,” sarannya.

Keduanya juga mengangkat isu polarisasi politik yang masih terasa, meski Pasaman tak sepenuhnya multietnis.

“Aspek utara dan selatan itu nyata. Maka rekonsiliasi pasca-PSU perlu dirancang, tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja,” ujar Aidinil.

Ia menambahkan bahwa seluruh elemen masyarakat harus dilibatkan dalam struktur pemerintahan agar demokrasi tidak berhenti pada kemenangan, melainkan menjadi ruang perawatan atas keberagaman.

PSU ini, menurut mereka, juga merefleksikan celah sekaligus peluang untuk melakukan reformasi pemilu secara menyeluruh.

“Ketidaksempurnaan dalam penyelenggaraan bisa berujung pada pembatalan hasil. Maka profesionalisme dan proses seleksi penyelenggara harus lebih ketat,” tegas Asrinaldi.

Aidinil menambahkan perlunya membangun sistem pemilu yang fleksibel, tangguh, serta didukung oleh infrastruktur informasi yang transparan dan terpercaya.

Dalam pandangan keduanya, institusi pendidikan tinggi seperti Universitas Andalas harus mengambil peran strategis dalam proses ini.

“PSU mesti menjadi laboratorium hidup bagi pembelajaran demokrasi,” kata Aidinil.

Prof. Asrinaldi juga menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh yang menyentuh akar persoalan, dengan melibatkan perguruan tinggi dan masyarakat sipil sebagai mitra dalam reformasi sistem demokrasi.

Sebagai penutup, keduanya sepakat bahwa narasi PSU harus dibangun sebagai bagian dari upaya perbaikan, bukan dianggap sebagai kegagalan.

“Kita tidak sedang mengulang karena gagal, tetapi sedang menyempurnakan proses karena yakin bahwa suara rakyat terlalu berharga untuk tercemar oleh kekeliruan prosedural,” pungkas Aidinil.

Sebagaimana disampaikan kedua akademisi tersebut, kualitas demokrasi bukan diukur dari ketiadaan kesalahan, tetapi dari kemauan kita untuk memperbaiki secara terbuka, jujur, dan bermartabat.(da*)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update