Notification

×

Iklan

Rupiah Melemah, BI Pastikan Tak Sama dengan Krisis 1998

Kamis, 27 Maret 2025 | 09:30 WIB Last Updated 2025-03-27T02:30:00Z

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto



Jakarta, Rakyatterkini.com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami pelemahan, seiring dengan turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level terendah sejak pandemi Covid-19. Akibat penurunan ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat memberlakukan penghentian sementara (*trading halt*) perdagangan saham pada Selasa (18/3/2025).  

Pelemahan rupiah bahkan mencapai titik terendah pada Selasa (25/3/2025), dengan nilai tukar turun 0,5 persen ke level Rp 16.640 per dolar AS, yang merupakan posisi terendah sejak Juni 1998. Namun, pada Rabu (26/3/2025), rupiah mulai berbalik menguat (*rebound*). Berdasarkan data Bloomberg, nilai rupiah menguat 24 poin atau 0,14 persen, ditutup pada Rp 16.857 per dolar AS.  

Faktor Penyebab Pelemahan Rupiah  

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa melemahnya rupiah disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah ketidakpastian di Amerika Serikat yang mendorong investor untuk mengalihkan investasinya ke aset yang lebih aman, sebuah fenomena yang dikenal sebagai *flight to quality*. Dalam tiga bulan terakhir, tercatat penjualan bersih asing mencapai Rp 36,5 triliun.  

Selain faktor eksternal, ada juga faktor domestik yang turut memengaruhi. Pengalihan saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada BPI Danantara dinilai menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor terkait tata kelola dan pembagian dividen. Di sisi lain, realisasi penerimaan pajak pada Januari 2025 mengalami penurunan yang cukup signifikan, serta muncul prediksi melemahnya daya beli masyarakat selama bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.  

Apakah Situasi Ini Mirip dengan Krisis 1998?  

Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa pelemahan rupiah saat ini berbeda dengan krisis ekonomi 1998. Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, menyatakan bahwa depresiasi rupiah kali ini terjadi secara bertahap, tidak seperti pada 1998 ketika nilai tukar anjlok secara drastis dalam waktu singkat.  

"Saat krisis 1998, rupiah jatuh dari di bawah Rp 10.000 per dolar AS langsung ke Rp 16.000 dalam waktu singkat. Sekarang, pelemahan rupiah terjadi secara bertahap sejak posisi Rp 15.000 per dolar AS," jelas Solikin dalam Taklimat Media di Jakarta, Rabu (26/3/2025).  

Ia juga menegaskan bahwa kondisi saat ini lebih terkendali karena cadangan devisa Indonesia mencapai 154,5 miliar dolar AS per akhir Februari 2025. Sebagai perbandingan, pada 1998, cadangan devisa Indonesia hanya sekitar 20 miliar dolar AS. Krisis saat itu diperparah oleh lemahnya sistem keuangan dan utang yang tidak terdeteksi dengan baik, sedangkan saat ini pemerintah dan BI telah memiliki mekanisme mitigasi yang lebih kuat.  

Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini  

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Ia menyoroti bahwa IHSG telah kembali menguat setelah sempat melemah pada pekan sebelumnya. Kepercayaan investor meningkat setelah hasil positif yang dicapai bank-bank pemerintah dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).  

"Ini kan pergerakan harian, nanti kita lihat. Fundamental ekonomi kita kuat dan pasar sudah mulai rebound. Hasil RUPS bank-bank BUMN juga menunjukkan outcome yang baik," ujar Airlangga di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (26/3/2025).  

Selain itu, kebijakan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 100 persen di dalam negeri selama satu tahun, yang mulai berlaku sejak 1 Maret 2025, turut memperkuat ekonomi. Sebelumnya, aturan hanya mewajibkan 30 persen DHE dari sektor sumber daya alam (SDA) disimpan dalam rekening khusus (reksus) valuta asing selama minimal tiga bulan.  

"Kita sudah menerapkan kebijakan DHE sehingga posisi rupiah bisa lebih stabil ke depan," jelasnya.  

Airlangga menambahkan bahwa faktor lain yang berpotensi mendorong penguatan rupiah adalah meningkatnya nilai ekspor Indonesia dalam jangka menengah dan panjang, tingginya cadangan devisa, serta surplus neraca perdagangan.  

"Fluktuasi rupiah adalah hal yang biasa, tapi secara fundamental ekonomi kita tetap kuat. Ekspor meningkat, cadangan devisa tinggi, dan neraca perdagangan masih mencatat surplus," pungkasnya.(da*)


IKLAN



×
Berita Terbaru Update